Wanaloka.com – Dosen Geologi UGM, Dr. Wahyu Wilopo mengatakan ada banyak faktor yang mempengaruhi risiko tingkat kerusakan bangunan yang begitu besar dalam bencana gempa bumi di Turki pada 6 Februari 2023 pukul 04.17 waktu setempat itu. Seperti diketahui, berdasarkan laporan Badan Survei Geologi Amerika (USGS), pusat gempa di Turki berkekuatan Magnitido 7,8 itu berada 23 kilometer timur Nurdagi, Provinsi Gaziantep, Turki dan pada kedalaman 24,1 kilometer. Ribuan orang meninggal dan belasan ribu warga terluka akibat gempa bumi itu.
Pertama, magnitude gempa cukup besar. Kedua, jarak yang meliputi tingkat kedalaman pusat gempa yang dangkal dan jarak horizontal ke lokasi. Ketiga, durasi gempa. Keempat, kondisi tanah dan batuan di lokasi. Kelima, ada tidaknya jalur patahan. Keenam, kekuatan bangunan yang ada.
“Episentrum gempa juga berada di daratan,” kata Wahyu pada 7 Februari 2023.
Baca Juga: Komisi IV DPR Pertanyakan Izin Angkut Kayu Mangrove untuk Arang di Kepri
Bahkan kejadian gempa yang besar terjadi bukan saat gempa pertama, tapi pada kejadian gempa selanjutnya. Gempa yang terjadi pada pukul 4.17 pagi dengan magnitude lebih rendah. Kemudian gempa susulan pada pukul 4.28 dengan magnitude 6,7. Barulah gempa pukul 13.24 siang bermagnitude paling besar, Mag7,8.
Kejadian gempa yang berturut-turut dengan magnitude yang cukup besar ini, menurut pengamatan Wahyu justru lebih merusak dibandingkan kejadian gempa yang hanya terjadi sekali atau gempa yang agak besar diikuti dengan gempa-gempa kecil.
“Masyarakat juga harus waspada terhadap gempa susulan yang mungkin magnitudonya lebih besar dari gempa pertama. Seperti kasus gempa di Turki atau di Lombok pada 2018,” kata Wahyu.
Baca Juga: Korban Meninggal Gempa Turki Sudah Mencapai 4 Ribu Lebih
Terkait kondisi bangunan di Turki secara umum sudah lebih baik dalam hal kekuatan dibandingkan bangunan di Indonesia. Namun kejadian gempa yang cukup besar yang berlangsung berkali-kali akan menyebabkan terjadinya keruntuhan.
“Sebagian besar tipikal bangunan di Turki itu bertingkat, bukan satu lantai. Jadi lebih rentan runtuh dan menimbulkan banyak korban,” jelas Wahyu.
Salah satu pelajaran yang bisa dipetik dari kejadian gempa di Turki dan Suriah adalah harus selalu waspada terhadap kejadian gempa bumi di Indonesia. Pertama, bentuk kewaspadaan yang harus dilakukan adalah masyarakat membangun bangunan tahan gempa. Salah satu contoh bangunan tahan gempa yang sederhana adalah RISBA yang dikembangkan akademisi Teknik Sipil dan Lingkungan UGM.
Baca Juga: Memitigasi Bencana di Garis Pantai Kota Padang
Kedua, masyarakat juga harus memiliki rencana evakuasi mandiri apabila terjadi gempa. Caranya adalah dengan mengenali tempat-tempat berlindung dan jalur evakuasi menuju tempat aman.
Ketiga, melakukan pemetaan sesar-sesar aktif yang menjadi pemicu terjadinya gempa bumi secara lebih detail untuk menginventarisasi daerah berpotensi gempa bumi. Pengembangan wilayah juga harus mengacu pada informasi bencana, termasuk gempa bumi.
“Harus ada rekomendasi kekuatan bangunan yang sesuai dengan ancaman gempanya,” imbuh Wahyu.
Baca Juga: Longsor di Tambang Pasir Gekbrong 3 Pekerja Meninggal, BNPB Ingatkan Dampak Gempa Cianjur
Discussion about this post