Wanaloka.com – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji formil UU Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE). Putusan MK disampaikan pada 17 Juli 2025.
Uji formil atas undang-undang tersebut diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) (Pemohon I), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi – Pemohon II), Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara – Pemohon III), dan Mikael Ane (Pemohon IV). Mikael Ane adalah anggota Masyarakat Adat Ngkiong di Manggarai, Nusa Tenggara Timur yang pernah dikriminalisasi akibat menjaga wilayah adatnya.
Para pihak mengajukan permohonan pengujian yang perkaranya terdaftar di Kepaniteraan MK dengan Registrasi Nomor 132/PUU-XXII/2025). Para pemohon menilai proses pembentukan UU KSDAHE tidak melibatkan pihak-pihak terkait, termasuk para pemohon.
Baca juga: Juli Puncak Kemarau di Riau, Potensi Karhutla Meningkat hingga Awal Agustus
Pada amarnya putusannya, Majelis Hakim MK menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya dengan beberapa pertimbangan hukum. Ada empat pertimbangan yang disampaikan, meliputi:
Pertama, Proses pembentukan UU KSDAHE telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, melalui rangkaian rapat yang partisipatif, termasuk Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan konsultasi publik yang melibatkan akademisi, praktisi, LSM, pelaku usaha, dan instansi pemerintah.
Beberapa lembaga yang diundang dalam RDPU antara lain Yayasan Konservasi Alam Nusantara, POKJA Konservasi, WGII, ISKINDO, serta perwakilan Masyarakat Hukum Adat dari Bali.
Baca juga: Lahan Konservasi Gajah dari Prabowo, Pakar Ingatkan Kepastian Status Lahan dan Kesesuaian Habitat
Kedua, Dokumen terkait proses legislasi yang sebelumnya didalilkan tidak dapat diakses, dinilai telah tersedia. Dan dapat diakses secara terbuka melalui situs resmi DPR RI, khususnya pada bagian Prolegnas Periodik.
Ketiga, Partisipasi publik tidak serta-merta harus diadopsi seluruhnya oleh pembentuk undang-undang. Mahkamah menegaskan Presiden selaku pembentuk undang-undang memiliki kewenangan untuk menyusun Daftar Inventarisir Masalah (DIM) dengan mempertimbangkan berbagai aspek materi muatan UU.
Keempat, UU 32 Tahun 2024 telah memenuhi asas kejelasan tujuan dan disusun secara proporsional. Tujuan undang-undang ini antara lain untuk meningkatkan konservasi sumber daya alam hayati serta memberikan ruang bagi peran serta masyarakat hukum adat, yang sebelumnya tidak diatur secara eksplisit dalam UU 5 Tahun 1990.
Baca juga: Lebih Dua Dekade, Baleg dan Komisi XIII DPR Janji Sahkan RUU Masyarakat Adat
Dua hakim beda pendapat
Terkait kekhawatiran pemohon mengenai rumusan norma yang dinilai tidak jelas dan membuka ruang interpretasi, MK menilai hal tersebut bukan merupakan ranah pengujian formil. Melainkan pengujian materiil. Oleh karena itu, dalil para pemohon mengenai cacat formil pembentukan UU KSDAHE karena tidak memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, dinilai tidak beralasan menurut hukum.
Sementara terkait substansi masyarakat hukum adat, hakim menyatakan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat telah tercantum secara eksplisit dalam Pasal 37 ayat (3) dan (4) UU 32 Tahun 2024, termasuk dalam bagian Penjelasan Umum undang-undang tersebut.
Penggunaan istilah ‘masyarakat’ dalam UU 32 Tahun 2024 mencakup pula ‘masyarakat hukum adat’, yang pengaturan secara lebih rinci akan diatur dalam RUU Masyarakat Hukum Adat yang telah masuk dalam Prolegnas Prioritas.
Baca juga: Fondasi Gedung Pusat Komando Peringatan Dini Multi Bahaya Sedalam 30 Meter
“Proses persidangan MK ini akan menjadi pembelajaran bagi Pemerintah, khususnya bagi Kementerian Kehutanan dalam menyusun peraturan perundang-undangan ke depan, seperti yang saat ini sedang berproses yaitu Revisi UU Nomor 41 Tahun 1999,” ujar Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Satyawan Pudyatmoko.
Poin pembelajaran tersebut adalah adanya pendapat berbeda (dissenting opinion) yang disampaikan dua hakim konstitusi, yakni Suhartoyo dan Saldi Isra. Keduanya menilai terdapat fakta proses pembahasan UU 32 Tahun 2024 dilakukan secara tertutup tanpa disertai alasan valid yang berdampak pada pengabaian asas keterbukaan dan keterlibatan publik dalam mewujudkan prinsip meaningful participation.
Pelaksanaan rapat-rapat pembahasan secara tertutup menyebabkan publik, termasuk masyarakat adat dan komunitas lokal kesulitan mendapatkan informasi mengenai isi dan perkembangan UU KSDAHE. Hal ini bertentangan dengan prinsip keterlibatan publik yang bermakna dan substantif, sebagaimana dijamin oleh konstitusi.
Baca juga: Karhutla di Riau, 29 Orang Tersangka dan Luas Lahan Terdampak Capai 1.000 Hektare
“Keterbukaan dalam tahap pembahasan merupakan titik kulminasi perwujudan partisipasi publik. Hakikat proses dialogis dalam prinsip meaningful participation tidak mungkin terwujud dalam pembahasan yang tertutup,” demikian bunyi pendapat kedua hakim itu.
Bahkan keduanya menyatakan UU KSDAHE seharusnya dinyatakan cacat formil, karena tidak memenuhi asas keterbukaan dan partisipasi. Dengan demikian, pokok permohonan para pemohon dinilai beralasan menurut hukum dan seharusnya dikabulkan, setidak-tidaknya sebagian.
Tak punya legitimasi
Discussion about this post