Wanaloka.com – Perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Negara-negara Pulau dan Kepulauan atau Archipelagic and Island State (AIS) Forum pada 10-11 Oktober 2023 di Bali diklaim Pemerintah Indonesia menjadi upaya penting menyelamatkan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Forum itu juga diklaim bentuk nyata kontribusi Indonesia kepada dunia internasional.
Bagi salah satu nelayan Pulau Pari di Kepulauan Seribu, Mustaghfirin atau yang biasa disapa Bobi, tindak lanjut KTT AIS 2023 hanya tampak di atas kertas. Lantaran banyak pulau kecil di Indonesia yang justru telah dan sedang tenggelam akibat kenaikan air laut yang dipicu krisis iklim.
“Ironisnya, pemerintah Indonesia tidak melakukan apa-apa untuk menyelamatkan pulau-pulau kecil yang telah dan tengah tenggelam,” kata Bobi dalam siaran pers yang diunggah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) pada 14 Oktober 2023.
Baca Juga: Emisi GRK Diklaim Turun 118 Juta Ton per Tahun 2022
Pulau Pari, tempat ia dan keluarganya hidup, adalah salah satu pulau yang terancam tenggelam. Sudah 11 persen daratan Pulau Pari hilang akibat kenaikan air laut. Ia bersama dengan tiga orang warga Pulau Pari sejak awal Februari 2023 mengambil langkah penting untuk menggugat Holcim, perusahaan semen terbesar di dunia.
“Sudah hampir satu tahun gugatan ini berjalan, tetapi pemerintah Indonesia tidak memberikan dukungan sedikit pun bagi langkah kami. Ini terbalik dengan sejumlah pemerintah di negara lain, di antaranya Menteri Keadilan Austria, Alma Zadic, yang secara terbuka mendukung gugatan kami. Harusnya pemerintah Indonesia malu,” tegas Bobi.
Bobi dan tiga rekannya punya alasan menggugat Holcim. Bagi Bobi, Holcim telah memproduksi emisi lebih dari 7 miliar ton CO2 sejak tahun 1950. Mereka mendesak Holcim sebagai perusahaan raksasa pencemar bertanggung jawab atas emisi yang telah mereka keluarkan.
Baca Juga: Nahrowi Ramli: Ganti Impor 1 Juta Pakan Ternak dengan Maggot
“Forum KTT AIS 2023 di Bali tidak akan bermakna apa-apa apabila Pemerintah tidak memiliki keseriusan menyelamatkan Pulau Pari dan seluruh pulau pulau kecil di Indonesia,” tegas Bobi.
Kehidupan Nelayan Semakin Sulit
Nelayan di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat Amin Abdullah menegaskan KTT AIS Forum 2023 tidak akan bermanfaat bagi kehidupan nelayan tradisional di Indonesia selama pemerintah tidak mau menghentikan seluruh proyek yang merusak wilayah pesisir, laut, dan pulau pulau kecil. Seperti pertambangan pasir laut yang kini dilegalisasi PP Nomor 26 Tahun 2023.
Menurut Amin, kehidupan nelayan kini semakin sulit akibat dampak krisis iklim. Salah satunya, banyak nelayan tradisional di Lombok Timur harus melaut lebih jauh untuk menangkap ikan hingga ke perairan Sumba.
Baca Juga: Krisis Air Ancaman Nyata dari Dampak Emisi GRK dan Pertambahan Penduduk
“Di sisi lain, nelayan harus berhadapan dengan dampak pertambangan pasir laut yang dulu pernah dialokasikan untuk reklamasi Teluk Benoa,” kata Amin yang juga Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN).
Dalam catatan LPSDN, kehidupan nelayan semakin sulit sejak disahkannya UU Cipta Kerja dan PP Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan terukur. Sebab nelayan tradisional harus mengurus perizinan yang sangat rumit. Mulai dari izin kapal yang sangat rumit, izin penangkapan ikan, sampai izin untuk mendapatkan kuota pengangkatan ikan.
KTT AIS Forum 2023 diyakini tidak akan memberikan dampak positif apapun bagi kehidupan nelayan tradisional. Apalagi mereka setiap hari harus berjuang melawan dampak krisis iklim dan buruknya tata kelola sumber daya kelautan dan perikanan.
Baca Juga: Krisdyatmiko: Kebijakan Bagi-bagi Rice Cooker Tidak Tepat dan Boros Energi
“Berbagai macam pertemuan internasional di Indonesia, seperti KTT AIS 2023 ini, tetap akan mempersulit kehidupan nelayan tradisional di Indonesia,” imbuh Amin.
Pembangunan Menghancurkan Pesisir Bali
Berbagai forum internasional di Bali, khususnya perhelatan KTT AIS Forum 2023, seringkali diikuti kegagalan Pemerintah menangani bencana. Direktur Walhi Bali, Made Krisna Dinata menilai, karena pengaturan ruang wilayah pada RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) maupun regulasi seperti RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Perairan dan Pulau-Pulau Kecil) selalu berubah-ubah dan tidak jelas.
“Bahkan regulasi tersebut selalu menjadi bancakan dan legitimasi terhadap proyek-proyek yang merusak alam, seperti proyek reklamasi dan proyek predatoris lainnya. Berbagai proyek tersebut menghancurkan daya dukung dan daya tampung Bali,” papar Made.
Baca Juga: Kilang Hidrogen Hijau Pertama di Indonesia Resmi Beroperasi
Seperti proyek Tol Bali Mandara yang berdampak buruk bagi ekosistem mangrove di Tahura Ngurah Rai, Teluk Benoa. Dalam kurun waktu 9 tahun telah terjadi peningkatan sedimentasi seluas 485.62 Ha, sehingga mempengaruhi ekosistem di perairan Teluk Benoa. Pembangunan jalan tol itu juga menerabas ekosistem mangrove sedikitnya 2 Ha. Sampai saat ini tidak ada upaya pemulihan atau sanksi tegas terkait kondisi tersebut. Secara umum, kawasan mangrove Tahura Ngurah Rai terus mengalami penyusutan. Sekarang hanya tersisa seluas 1.158,44 hektare dari sebelumnya tercatat 1.203,55 hektare.
Beragam pembangunan tersebut, membuat masyarakat pesisir Bali semakin rentan karena dampak krisis iklim. Menurut Made, sebagai ekosistem pulau kecil, Bali sangat rentan terhadap bencana ekologis. Pantai Kuta dan sekitarnya mengalami abrasi cukup parah. Data terbaru pada tahun 2023 menyebut, garis tepi pantainya sudah mengalami kemunduran 25-30 meter. Di Kabupaten Badung, abrasi telah menghilangkan 703 meter serta sekitar sembilan bangunan rusak berat.
Tahun 2022, abrasi juga telah merusak 70 rumah di pesisir Pantai Pebuahan. Pada Juli 2023, dampak cuaca ekstrem berupa banjir menerjang Bali dan angin puting beliung melanda pantai Pebuahan, Desa Banyubiru Kabupaten Jembaran. Sebanyak 216 keluarga mengalami kerugian materiil karena rumah rusak dan perahu nelayan hancur. Banyak warga harus mengungsi ke rumah keluarga masing-masing karena merasa tidak aman.
Baca Juga: Konflik Sawit di Seruyan, DPR Minta Pemerintah Pusat Turun Tangan
Discussion about this post