Wanaloka.com – Pada 2024, sektor pertanian Indonesia sempat mengalami surplus stok beras yang melimpah. Beberapa pihak menyebut sebagai kebangkitan sektor pertanian Indonesia. Kemudian masyarakat dikejutkan dengan fenomena kemarau basah. Musim kemarau yang seharusnya tiba sejak Mei, ternyata intensitas hujannya sangat tinggi hingga Juni dan Juli. Bahkan beberapa wilayah masih banjir.
Menurut Pakar dan Profesional di Bidang Agrometeorologi, Ilmu Lingkungan, dan Perubahan Iklim Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM, Bayu Dwi Apri Nugroho mengatakan perlu kewaspadaan membaca situasi ini. Tidak hanya soal terjadinya bencana hidrometeorologis seperti banjir dan longsor, namun terkait persoalan pangan.
“Merujuk pada informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), bahwa kemarau basah diprediksi akan terjadi selama tiga bulan ke depan sampai Oktober 2024,” kata Bayu di Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Senin, 14 Juli 2025.
Baca juga: Empat Rekomendasi Bagi Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat
Dampak kemarau basah sudah sangat dirasakan petani. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pada bulan Mei-Juni, petani sudah bisa menanam komoditas hortikultura seperti cabai atau bawang merah. Sebab pada bulan-bulan itu, normalnya telah masuk musim kemarau, curah hujan sudah menurun dan petani bisa menanam.
Sebaliknya, pada bulan Mei, Juni dan Juli 2025 intensitas hujan masih tinggi. Tidak sedikit petani mengalami gagal tanam, diakibatkan perhitungan petani yang meleset. Intensitas hujan yang meningkat menyebabkan banjir di lahan, sehingga gagal tanam dan gagal panen (puso).
Namun, menurut Bayu, meskipun berdampak negatif, kemarau basah juga bisa berdampak secara positif untuk pertanian. Peningkatan intensitas curah hujan akan menguntungkan wilayah-wilayah yang kering dan tadah hujan, sehingga akan membuat ketersediaan air di wilayah-wilayah tersebut cukup.
Baca juga: Asap Minyak Goreng hingga Residu Rokok Tingkatkan Risiko Kanker Paru Perempuan
“Jadi petani di wilayah tersebut bisa melakukan aktifitas penanaman, seperti di wilayah Papua dan Indonesia bagian Timur lainnya,” terang dia.
Meski begitu, perlu pencegahan dan antisipasi terkait dengan kemarau basah. Beberapa langkah strategis yang diperlukan antara lain menyangkut kebutuhan prediksi cuaca masa depan secara nasional secara mendetail sampai pada level desa atau lahan. Dan informasi ini tersampaikan kepada masyarakat, terutama terkait dengan anomali cuaca (La Niña).
Dengan prediksi ini diharapkan dapat membantu untuk mengurangi kerugian dan biaya yang ditimbulkan bencana hidrometeorologis sebagai dampak dari La Niña. Sebab prediksi awal terjadinya La Niña bermanfaat dalam membantu perencanaan dan pengelolaan berbagai sektor seperti sumber daya air, energi, transportasi, pertanian, kehutanan, perikanan serta menghindari atau mengurangi potensi kerugian yang lebih besar.
Baca juga: Demi Green Card UNESCO, Promosi Wisata dari Humbang Hasundutan hingga Toba
Apri menyebut perlu juga edukasi secara terus menerus mengenai La Niña dan fenomena anomali cuaca lainnya serta dampaknya kepada masyarakat. Jika perlu, edukasi ini disampaikan kepada petani melalui peran para penyuluh pertanian yang ada di wilayah masing-masing.
“Sudah saatnya penyediaan asuransi pertanian terkait kegagalan panen petani akibat La Niña atau fenomena anomali iklim lainnya,” kata Bayu.
Dan tak kalah penting adalah bisa memastikan kesiapan sarana dan prasarana untuk menghadapi La Niña, seperti ketersediaan pompa untuk pompanisasi in-out dari sawah, rehabilitasi jaringan irigasi tersier/kwarter, menggunakan benih tahan genangan seperti Inpara 1-10, Inpari 29, Inpari 30, Ciherang, dan lainnya.
Baca juga: Haenyeo, Perempuan Penyelam dengan Denyut Jantung Lebih Lambat dan Tekanan Darah Lebih Rendah
Anomali musim kemarau picu cuaca ekstrem berkepanjangan
Discussion about this post