Padahal krisis iklim kian mengancam. Tanpa komitmen nyata untuk menurunkan emisi, masyarakat Indonesia akan terus menghadapi musim yang tidak menentu, gagal panen, banjir bandang, hingga krisis air bersih.
Baca juga: Dietriech Geoffrey, Merkuri Masuk ke Perairan Lewat Limbah Industri hingga Keramba Jaring Apung
Sementara, kebijakan energi yang dikeluarkan pemerintah melalui Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) dan penyediaan tenaga listrik melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) semakin jauh dari komitmen transisi energi. Bahkan masih akan bergantung pada energi fosil hingga 2060.
Dalam RUPTL yang disosialisasikan masih terdapat rencana penambahan pembangkit listrik tenaga uap batu bara (PLTU Batu Bara) sebesar 6.3 Gigawatt dan pembangkit listrik tenaga gas fosil (PLTG) sebesar 10.3 Gigawatt.
Penambahan pembangkit listrik baru berbahan bakar fosil akan semakin mengunci pada kondisi coal lock-in dan fossil gas lock-in, baik secara infrastruktur maupun emisi gas rumah kaca (GRK) selama 25 hingga 30 tahun ke depan. Bahkan bisa lebih, sesuai dengan masa operasi dari kedua jenis pembangkit tersebut.
Selain itu, pada draft RPP KEN terbaru, penggunaan batu bara dan gas fosil masih diperbolehkan hingga tahun 2060.
Berdasarkan data historis, saat bauran energi terbarukan hanya mencapai 15 persen pada 2024, laju penambahan pembangkit energi terbarukan tercatat hanya mencapai 3.2 Gigawatt dari 2018 hingga 2023.
“Pemerintah Indonesia harus keluar dari zona nyaman dan berhenti melanjutkan ketergantungan pada energi fosil. Krisis ini tidak pernah adil dan sayangnya warga serta mereka yang lemah akan menjadi korban paling terdampak. Kita butuh komitmen ambisius pada pengembangan energi terbarukan, peta jalan transisi energi berkeadilan, dan pembangunan yang berpihak pada kelangsungan hidup. Bukan sekadar pertumbuhan ekonomi jangka pendek,” tegas Bondan.
Greenpeace mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang progresif dan selaras dengan target penurunan emisi. RUU ini tidak boleh menjadi celah bagi solusi palsu seperti gasifikasi batu bara, co-firing, atau proyek berbasis fosil yang menyamar sebagai “energi baru”. Skema-skema tersebut hanya memperpanjang umur industri kotor dan menghambat transisi energi sejati. [WLC02]
Sumber: Greenpeace Indonesia
Discussion about this post