Wanaloka.com – Bupati Tapanuli Selatan (Tapsel) Gus Irawan Pasaribu mengakui, kondisi wilayahnya sering dilanda banjir bandang beberapa tahun belakangan. Dilansir dari Tribunnews.com, November 2024 misalnya, banjir bandang menerjang Sipange Siunjam yang mengakibatkan dua orang tewas. Menjelang Natal 2024, banjir bandang kembali melanda wilayah Tano Tombangan.
Atas bencana tersebut, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan megajukan dana untuk proses rehabilitasi rekonstruksi. Dari pengajuan Rp28 miliar, yang disetujui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) senilai Rp10 miliar.
Belum juga proses rehabilitasi rekonstruksi itu terlaksana, wilayah Tapanuli Selatan kembali diterjang banjir bandang. Sama seperti bencana 2024, bahwa banjir bandang November 2025 juga menggelontorkan batang-batang kayu dari pohon yang telah ditebang. Artinya, ada aktivitas penebangan pohon di wilayah hulu. Tiga desa di wilayahnya rusak parah, yakni Garoga, Huta Godang dan Aek Ngadol.
Sebelum banjir bandang 2025 datang, Gus Irawan mengungkapkan, pihaknya menerima surat dari Direktorat Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Kehutanan pada Juli 2025. Isi surat itu menginstruksikan penghentian sementara Pengelolaan Hak Atas Tanah (PHAT) kerja sama korporasi dengan masyarakat setempat untuk mengambil kayu.
Baca juga: Anggota DPR Kritik Pernyataan Pejabat Publik Soal Banjir Sumatra Minim Empati
Gus Irawan menilai surat itu sejalan dengan upaya yang Tengah dilakukan untuk mencegah bencana di Batang Toru berulang kembali. Ia menindaklanjuti dengan membuat surat edaran kepada camat hingga lurah.
Namun Oktober 2025, izin PHAT dibuka kembali. Kebijakan Kementerian Kehutanan itu mengejutkan Gus Irawan.
Ia pun mengirimkan surat keberatan ke Direktorat Pengelolaan Hutan Lestari Kemenhut pada 14 November 2025. Isinya, mengusulkan penghetian kembali aktivitas penebangan hutan. Namun PHAT tetap beroperasi, hingga banjir bandang terjadi lagi di Batangtoru pada 25 November 2025.
Ia mempertanyakan alasan Ditjen Pengelolaan Hutan Lestari kembali memberi izin operasi penebangan hutan. Ia juga menyinggung soal Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dihasilkan perusahaan yang berada di Tapanuli Tengah yang diduga menjadi penyebab banjir bandang yang menghanyutkan kayu-kayu gelondongan itu.
“Berapa PNBP yang diterima, sehingga kemudian perusahaan ini kembali diberi izin operasi? Ada apa ini?” tanya dia.
Baca juga: Hatma Suryatmojo, Banjir Bandang Sumatra Akibat Akumulasi Dosa Ekologis di Hulu DAS
Ia menyesalkan banyak warga Batangtoru yang menjadi korban. Rumah-rumah hancur, anggota keluarga hilang, dan warga mengalami kerugian material. Semestinya, Kementerian Kehutanan bertugas untuk menjaga hutan.
Kini gelondongan kayu-kayu itu bertebaran di hilir. Menurut Gus Irawan, kayu-kayu itu kelak bisa digunakan untuk kepentingan warganya yang terdampak banjir bandang.
Kemenhut membantah
Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Kementerian Kehutanan, Laksmi Wijayanti membantah telah membuka kembali izin penebangan pohon itu. Alasannya, usai Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni memerintahkan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terkait layanan Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) pada Juni 2025, pihaknya mengeluarkan Surat Dirjen PHL No. S.132/2025 tertanggal 23 Juni 2025. Isinya menghentikan sementara layanan SIPUHH bagi seluruh PHAT untuk keperluan evaluasi menyeluruh.
Ia menjelaskan, SIPUHH adalah fasilitas penatausahaan pemanfaatan kayu tumbuh alami di wilayah bukan hutan negara, tetapi berada areal penggunaan lain (APL). Layanan SIPUHH untuk PHAT, bukan merupakan perizinan.
Baca juga: Kerugian Bencana Ekologis Sumatra Rp68,67 Triliun, Tak Sebanding Sumbangan dari Tambang dan Sawit
Menurut dia, belum ada satupun PHAT di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan yang diberi akses SIPUHH sejak Juli 2025. Namun Laksmi membenarkan Bupati Tapanuli Selatan mengirimkan dua surat pada bulan Agustus dan November 2025.
“Beliau menyampaikan agar seluruh PHAT di wilayah kabupatennya tidak diberikan akses SIPUHH. Kami laksanakan dengan tidak membuka satupun akses SIPUHH di Tapanuli Selatan,” kata dia.
Laksmi juga membenarkan telah terjadi kegiatan ilegal di kawasan PHAT Tapanuli Selatan. Pada tanggal 4 Oktober 2025, Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Kehutanan bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten melakukan penangkapan empat truk angkutan kayu dengan volume 44 meter kubik dari PHAT di Kelurahan Lancat.
“Dokumen Hak Atas Tanah (HAT) adalah kewenangan Pemerintah Daerah dan instansi pertanahan. Kayu tumbuh alami pada PHAT berada di luar kawasan hutan, sehingga pengawasan pemanfaatan kayu dilakukan pemerintah daerah,” terang Laksmi.
Ia menegaskan, pelanggaran yang terjadi di dalam kawasan hutan akan ditangani Ditjen Gakkum Kehutanan sesuai hukum yang berlaku. Adapun pelanggaran pemanfaatan kayu di luar kawasan hutan ditangani melalui penegakan hukum pidana umum bekerja sama dengan Kepolisian dan Pemerintah Daerah.
Baca juga: Update Bencana Sumatra, Korban Tewas 442 Orang Terbanyak di Sumut
“Kami tidak akan berkompromi dengan praktik penyalahgunaan dokumen HAT atau pemanfaatan kayu ilegal. Penegakan hukum berjalan untuk siapa pun yang melanggar,” kata dia.
Kayu gelondongan dari penebangan, pohon tumbang, sisa land clearing
Ahli Kebijakan Hutan IPB University, Prof. Dodik Ridho Nurochmat memberikan penjelasan terkait temuan kayu gelondongan yang terbawa arus saat bencana longsor di Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Penjelasan itu ia sampaikan dalam sebuah program televisi nasional pada Minggu, 30 November 2025.
Menurut Dodik, kayu-kayu besar dan kecil yang tampak berserakan di lokasi bencana tidak berasal dari satu penyebab tunggal. Berdasarkan informasi visual yang beredar di media sosial dan televisi, ia menilai kayu tersebut kemungkinan berasal dari campuran penebangan, pohon tumbang, serta sisa land clearing yang tidak dibersihkan.
“Bisa dari penebangan lama atau pembersihan lahan yang tidak tuntas. Jika terbawa arus air, kayu itu akan mengambang. Bisa juga dari penebangan kayu yang baru. Jadi harus ada investigasi,” ujar Dodik.
Ia belum bisa memastikan seluruh kayu gelondongan itu adalah kayu baru atau kayu lama yang terseret arus. Debit air besar saat longsor memungkinkan pohon tumbang ikut hanyut sehingga menambah campuran material kayu di lokasi.
Baca juga: Tiga Provinsi Sumatra Kewalahan, Akademisi dan Masyarakat Sipil Desak Status Bencana Nasional
Perbedaan kayu hasil pembalakan dengan kayu tumbang alami adalah kayu hasil tebangan pasti memiliki bekas gergaji yang jelas. Sementara kayu yang tumbang alami tidak menunjukkan pola potongan yang rapi.
Namun ia menilai sulit melakukan identifikasi detail hanya dari video atau foto.
“Dari gambar terlihat potongan kayu berukuran kecil dan besar. Tapi tidak bisa dilihat secara detail apakah potongannya rapi atau akibat tumbang alami,” kata dia.
Ia menekankan perlu ada pembenahan tata kelola lingkungan agar kejadian serupa dapat dicegah.
Terkait penyebab banjir bandang, Dodik menyebut kejadian tersebut merupakan kombinasi faktor alam dan faktor manusia. Ada cuaca ekstrem, kondisi geografis pegunungan, dan kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia.
Ia menyoroti pentingnya kepatuhan terhadap regulasi seperti Analisi Dampak Lingkungan (Amdal), Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), serta penegakan hukum yang tidak hanya fokus pada denda, tetapi juga pemulihan lingkungan.
Baca juga: Jatam Tegaskan Longsor dan Banjir Bandang di Sumatra Akibat Ledakan Izin Ekstraktif






Discussion about this post