Masalah-masalah yang muncul akibat proyek PSN kini dilanjutkan Prabowo yang baru-baru ini menetapkan 77 PSN. Kendati sejumlah proyek era Jokowi dicoret dari daftar PSN, ancaman perampasan tanah serta ruang hidup dan pelanggaran hak-hak masyarakat tak serta-merta hilang.
Laporan Komnas HAM menyebutkan PSN tak ramah HAM dan menimbulkan pelbagai bentuk pelanggaran HAM. Karakteristik PSN yang ingin dilaksanakan secara cepat telah merampas hak-hak mendasar rakyat, terutama hak atas tanah sebagai HAM. PSN juga telah menerabas banyak norma dan ketentuan perundang-undangan, hingga berimbas pada penghalangan dan pelanggaran HAM, baik dari sisi proses maupun substansi.
Pelaksanaan PSN dilakukan tanpa pelibatan rakyat yang lebih memahami kebutuhan dan wilayahnya. Akhirnya, memicu letusan konflik agraria. Pendekatan represif di wilayah PSN yang berkonflik terus menambah catatan pelanggaran HAM di Indonesia. Mekanisme izin lingkungan dan AMDAL, yang semestinya menjadi instrumen pengendalian lingkungan hidup, tak berjalan semestinya.
Berdasarkan Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), tercatat sejak 2020-2024, setidaknya 103 ribu kaum ibu telah kehilangan sumber penghidupannya, akibat perampasan tanah atas nama PSN. Rusaknya sumber air, hilangnya sumber pangan, seperti sagu, sayuran yang tumbuh di hutan, ikan dan berbagai sumber protein di sungai dan laut, memaksa perempuan untuk membeli bahan-bahan pangan sehingga pengeluaran rumah tangga terus meningkat.
Deklarasi Solidaritas Merauke
“Deklarasi ini adalah hasil kerja bersama kami gerakan Solidaritas Merauke. Naskah ini dirumuskan setelah kami saling berbagi cerita tentang derita dan trauma kolektif yang disebabkan kejahatan-negara-korporasi, terutama atas nama Proyek Strategis Nasional, yang menduduki dan merampas ruang hidup serta menistakan apa-apa yang kami sucikan.
Kerusakan dan kepunahan kehidupan, sistem pengetahuan, dan spiritualitas asli kami terus meluas. Kami kehilangan jati diri, ingatan menyejarah siapa kami, tempat-tempat suci kami, kekerabatan kami dengan tanah dan alam. Begitu juga sumber pangan, sumber obat-obatan, sumber mata pencaharian dan kemandirian pekerjaan. Di atas itu semua, kami mengalami diskriminasi, kerja paksa, kekerasan fisik, intimidasi dan kriminalisasi. Malapetaka ini patut disebut sebagai keadaan darurat bagi keselamatan rakyat.
Jelas sekali bahwa derita dan malapetaka berkelanjutan ini adalah cerminan dari penjajahan yang hanya dipoles permukaannya lewat tambal sulam peraturan perundang-undangan. Ironis sekali bahwa di hadapan perampokan kekayaan rakyat, pemaksaan dan penggunaan kekuatan hukum, kekuasaan politik, ekonomi, dan militer, janji-janji palsu kemakmuran, perusakan tubuh manusia dan penghisapan manusia atas manusia, rakyat hendak dihibur dengan “makan bergizi gratis”.
Kami, Solidaritas Merauke, menyatakan menolak sepenuhnya akal bulus perampasan kekayaan rakyat lewat pembaruan kebijakan. Kami menuntut penghentian total Proyek Strategis Nasional serta proyek-proyek atas nama kepentingan nasional lainnya yang jelas-jelas mengorbankan rakyat. Pelaku kejahatan-negara-korporasi wajib mengembalikan semua kekayaan rakyat yang dicuri dan segera memulihkan kesehatan dan ruang hidup rakyat di seluruh wilayah yang dikorbankan atas nama kepentingan nasional.
Tidak ada pulau yang terlalu besar atau terlalu kecil untuk rusak bentang alamnya. Apabila tanda-tanda mencolok atas malapetaka ini diremehkan, sudah pasti akan ada percepatan pembesaran kekacauan sosial-ekologis yang belum pernah terjadi di sepanjang sejarah kepulauan dari Papua sampai Sumatra.
Satu Kekuatan! Satu Perjuangan! Rawat Kehidupan!” [WLC02]
Sumber: Walhi
Discussion about this post