“Ini memang harus diarahkan pada manajemen pra bencana, bukan pada tanggap darurat. Kalau dari segi tanggung jawab, dulu kita melihat kebencanaan hanya tanggung jawab pemerintah. Paradigma sekarang, ini tanggung jawab bersama. Begitupun dengan manajemen ancaman,” papar Kepala Pusat Studi Bencana, Lembaga Penelitian dan Penelitian Masyarakat UNS, Prof. Chatarina Muryani.
Urgensi pendidikan kebencanaan telah muncul di berbagai agenda nasional maupun internasional. Strategi untuk meningkatkan pengembangan mitigasi salah satunya dilakukan melalui pendidikan. Sama halnya dengan kelompok masyarakat lainnya, kelompok difabel juga harus mendapat pendidikan kebencanaan yang memadai. Fasilitas penyediaan kebutuhan difabel di sektor pendidikan masih perlu didorong.
Menurut Direktur Eksekutif Griya Manunggal, Setia Adi Purwanta, pemerintah daerah memiliki peran besar dalam membentuk satuan layanan kebencanaan bagi difabel. Pertama, tetap ada pengutamaan dan inklusivitas.
“Jadi, semua sama, sama rata,” kata Setia.
Baca Juga: Alat Pengukur Warna Roasting Kopi Permudah Menikmati Kopi Sesuai Selera
Kedua, ada aksesibilitas melalui akomodasi yang layak. Akomodasi tersebut sebenarnya tidak hanya bagi kelompok difabel. Tapi bagi siapapun yang terhambat informasinya, geraknya perlu mendapat prioritas akomodasi.
“Ketika terjadi bencana, output-nya sama. Sama-sama harus tepat dan cepat. Padahal kan kondisinya berbeda. Ini problem utamanya,” jelas Setia.
Penanggulangan bencana merupakan satu isu yang banyak bersinggungan dengan aspek kemanusiaan. Bencana yang bisa terjadi kapan saja berpotensi menimbulkan korban jiwa. Sayangnya, tidak semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan akses informasi kebencanaan, maupun tanggap darurat. Setia mengingatkan, penting untuk menekankan kembali upaya membuka akses pada masyarakat rentan, seperti difabel. [WLC02]
Sumber: UGM
Discussion about this post