Solusinya pun bukanlah konversi, melainkan intensifikasi lahan melalui pola tanam kebun campuran. Pola tersebut memungkinkan petani mendapatkan pendapatan dari lebih dari satu komoditas sekaligus mengurangi risiko saat harga salah satu komoditas jatuh. Dalam situasi ekonomi pedesaan yang sudah kompleks, pemaksaan kebijakan konversi justru berisiko menambah beban petani kecil.
“Pendekatan yang lebih partisipatif dan berbasis kondisi lapangan sangat dibutuhkan agar kebijakan tidak berakhir kontraproduktif,” pesan Eka.
Baca juga: Juli Puncak Kemarau di Riau, Potensi Karhutla Meningkat hingga Awal Agustus
Berbahaya bagi lingkungan
Dari perspektif lingkungan, konversi besar-besaran juga dinilai berbahaya. Monokultur sawit dalam skala luas berisiko menurunkan kualitas sumber daya lahan dan mengancam biodiversitas. Ia mendorong pendekatan kebun campur sebagai solusi yang lebih ramah lingkungan dan adaptif terhadap tantangan pertanian masa depan.
Selain itu, diversifikasi juga membuka peluang bagi sistem pertanian yang lebih resilien terhadap dampak perubahan iklim. Hal ini sejalan dengan prinsip pertanian berkelanjutan yang mengintegrasikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi secara seimbang.
“Diversifikasi komoditas dan pengelolaan terintegrasi menjadi kunci dalam menjaga keberlanjutan,” ucap dia.
Baca juga: Lahan Konservasi Gajah dari Prabowo, Pakar Ingatkan Kepastian Status Lahan dan Kesesuaian Habitat
Lebih jauh, Eka menyoroti lemahnya proses penyusunan kebijakan ini. Ia menilai kebijakan konversi lahan belum mempertimbangkan berbagai aspek secara menyeluruh, terutama dari sisi jangka panjang. Risiko-risiko yang tidak diperhitungkan dengan matang justru bisa menjadi bumerang di masa depan.
Penyusunan kebijakan yang strategis semestinya melibatkan partisipasi multisektor dan analisis berbasis data yang komprehensif.
“Kebijakan ini tampaknya hanya lahir dari pertimbangan sesaat, tanpa melihat dampak luas dan berkelanjutan terhadap petani, lingkungan, dan ekonomi nasional,” duga Eka.
Baca juga: Lebih Dua Dekade, Baleg dan Komisi XIII DPR Janji Sahkan RUU Masyarakat Adat
Empat langkah bijak
Sebagai solusi, Eka menawarkan empat langkah bijak yang dapat ditempuh pemerintah. Pertama, mempertahankan kebun karet eksisting dengan program revitalisasi berbasis pola tanam campuran. Kedua, memperkuat industri primer berbasis karet untuk menstabilkan harga di saat harga global jatuh.
Ketiga, meningkatkan produktivitas kebun sawit eksisting melalui intensifikasi on-farm. Dan keempat, mengarahkan kelebihan produksi CPO dari hasil intensifikasi untuk mendukung program biosolar seperti B35 hingga B100. Strategi ini dinilai lebih rasional dan berimbang karena tidak mengandalkan ekspansi, melainkan efisiensi dan inovasi.
“Dengan skema seperti itu, kita tidak perlu mengorbankan komoditas lain demi sawit, tetapi tetap bisa mewujudkan ketahanan energi,” tegas dia. [WLC02]
Sumber: UGM
Discussion about this post