Wanaloka.com – Dikutip dari laman IQAir pukul 06.20 WIB, US Air Quality Index (AQI US) atau indeks kualitas udara di Ibu Kota Jakarta pada Rabu, 16 Agustus 2023 tercatat di angka 156. Artinya, DKI Jakarta menjadi kota dengan kualitas udara terburuk nomor empat di dunia.
Konsentrasi polutan tertinggi dalam udara DKI Jakarta per tanggal itu adalah PM 2.5. Konsentrasi tersebut 13 kali nilai panduan kualitas udara tahunan World Health Organization (WHO). Sedangkan cuaca di Jakarta pada Rabu pagi berkabut dengan suhu 25 derajat celsius, kelembapan 72 persen, gerak angin 3,7 km/h, dan tekanan sebesar 1014 milibar. Masyarakat direkomendasikan mengenakan masker, menghidupkan penyaring udara, menutup jendela, dan hindari aktivitas di ruang terbuka.
“Polusi udara Jabotabek sudah sangat ekstrem,” kata Dosen Sekolah Vokasi UGM sekaligus Pengamat Ekonomi Energi UGM, Dr. Fahmy Radhi.
Baca Juga: Gempa Ende Magnitudo 5,8 Dipicu Deformasi Batuan
Lantas, apa penyebab polusi udara ekstrem di Jabodetabek itu?
Sementara Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas (ratas) menyampaikan, ada beberapa faktor dinilai sebagai penyumbang kualitas udara buruk di Jabotabek. Antara lain pembuangan emisi dari transportasi yang menggunakan energi fosil dan aktivitas industri di wilayah Jabodetabek.
Ada tiga PLTU yang beroperasi di sekitar Jabodetabek, yakni PLTU Suryalaya, PLTU Banten, dan PLTU Lontar. Namun,menurut Fahmy, emisi karbon ketiga PLTU itu sudah sangat rendah. Ketiga PLTU itu sudah menekan di bawah ambang batas emisi sesuai ketentuan Peraturan Menteri (Permen) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Republik Indonesia Nommor 15 Tahun 2019 tentang Baku Mutu Emisi.
Baca Juga: Corie Indria Prasasti: Solusi Polusi Udara Harus Ramah Lingkungan
Kementerian LHK pernah menganugerahkan Proper Emas kepada ketiga PLTU tersebut. Proper Emas adalah penghargaan tertinggi bagi perusahaan yang terbukti melakukan pengelolaan lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan dan melakukan upaya-upaya pengembangan masyarakat secara berkesinambungan.
Penghargaan itu dinilai Fahmy tepat karena ketiga pembangkit itu sudah menerapkan teknologi Electrostatic System Precipitator (ESP) yang mengendalikan abu hasil proses pembakaran dan menjaring debu PM 2,5.
Discussion about this post