Berdasarkan laporan warga di Bojonegoro dan Gresik telah terjadi pencemaran udara. Masyarakat terdampak pencemaran udara dari pabrik-pabrik yang dibangun dekat permukiman tanpa pengawasan berarti. Akibatnya, kegiatan belajar terganggu, ekonomi warga menurun, dan gangguan kesehatan mulai bermunculan.
“Ini bukti bahwa izin industri masih diberikan tanpa kajian dampak sosial-lingkungan yang memadai,” tegas dia.
Kelima, transisi energi di Jawa Timur justru dibajak oleh kepentingan industri dan solusi palsu.
Baca juga: Serukan Penyelamatan Raja Ampat dari Tambang, Aktivis Greenpeace Indonesia Ditangkap
Penggunaan biomassa seperti pelet kayu dalam skema co-firing PLTU, seperti di Paiton, hanya menunda pensiun dini batubara. Proyek RDF dan PLTSa juga bukan solusi atas krisis sampah, karena tidak menyelesaikan masalah dari hulunya. Bahkan menambah beban warga karena ada residu dan emisi baru yang dihasilkan.
Proyek energi terbarukan lainnya pun bermasalah. Proyek PLTS di Sumenep misalnya, justru merampas 110 hektare lahan kebun milik warga dan pesantren, serta mengancam sumber mata air di daerah yang sudah mengalami kesulitan air. Sementara proyek geothermal di kawasan pegunungan seperti Lawu, Wilis, Arjuno, Welirang, Semeru, Argopuro, Raung, dan Ijen mengancam kawasan lindung dan rentan memicu bencana ekologis baru.
Empat desakan untuk pemerintah Jatim
Walhi Jawa Timur menilai, saat ini tata kelola lingkungan hidup di Jawa Timur masih elitis, tertutup, dan cenderung berpihak pada kepentingan industri ekstraktif dan energi kotor. Situasi ini hanya akan memperparah ketimpangan ekologis dan sosial yang sudah terjadi.
Baca juga: Serukan Penyelamatan Raja Ampat dari Tambang, Aktivis Greenpeace Indonesia Ditangkap
Koalisi ini mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan pemerintah kabupaten/kota untuk segera:
Pertama, Melakukan revisi menyeluruh terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) agar tidak lagi menjadi alat legalisasi perusakan lingkungan.
Kedua, Menghentikan pemberian izin baru bagi industri dan tambang yang berada di wilayah rentan dan dekat permukiman.
Ketiga, Membatalkan proyek transisi energi yang tidak adil dan berbasis solusi palsu, serta menggantinya dengan skema transisi energi berbasis komunitas, desentralistik, dan berkeadilan ekologis.
Baca juga: Libur Panjang Akhir Pekan, Wisatawan Tinggalkan Gunungan Sampah di Kawah Ijen
Keempat, Memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan, dan terakhir, membuka ruang partisipasi publik secara bermakna dan sejati dalam setiap kebijakan lingkungan.
“Hari Lingkungan Hidup harus menjadi pengingat bahwa bumi dan rakyat tidak bisa terus dikorbankan demi keuntungan segelintir pihak. Jangan tertipu oleh indeks. Lihatlah kenyataan di lapangan. Jawa Timur butuh keberanian politik untuk memilih jalan keberlanjutan yang berpihak pada rakyat dan alam,” seru Pradipta. [WLC02]
Discussion about this post