Minggu, 26 Oktober 2025
wanaloka.com
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
wanaloka.com
No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

Ikhtiar Petani Gunungkidul Menjaga Pangan Lokal yang Terancam Ditinggalkan

Bumi makin panas. Petani-petani Gunungkidul mengumpulkan kembali benih-benih pangan lokal yang bisa hidup di lahan gersang untuk ditanam dan dilestarikan. Sebuah langkah mitigasi yang dilakukan sejak dini untuk menghadapi ancaman krisis air dan bencana kelaparan.

Selasa, 14 Oktober 2025
A A
Beragam benih biji-bijian legum yang ditanam petani yang bisa tumbuh dan berbuah di tegalan di Dusun Wintaos, Desa Girimulyo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin, 29 September 2025. Pito Agustin Rudiana/Wanaloka.com.

Beragam benih biji-bijian legum yang ditanam petani yang bisa tumbuh dan berbuah di tegalan di Dusun Wintaos, Desa Girimulyo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin, 29 September 2025. Pito Agustin Rudiana/Wanaloka.com.

Share on FacebookShare on Twitter

Wanaloka.com – Menjelang tengah hari, Senin, 29 September 2025, perempuan-perempuan petani duduk meriung di bangunan bambu Sekolah Pagesangan di Dusun Wintaos, Desa Girimulyo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul. Mengelilingi selembar papan triplek tempat meletakkan aneka biji-bijian yang mereka bawa dari rumah. Beragam biji itu berasal dari tanaman yang selama ini ditanam di ladang masing-masing.

Anak muda Wintaos, Lifia mendata nama-nama petani yang membawa biji berikut biji tanaman apa saja yang dibawa. Antara lain jali ketan, jali empuk, jali biasa, koro pedang, koro abang, koro lok-e, koro pait, kacang ijo, kacang abang, kacang lanjaran, tholo, waluh, pare, cantel, gudhe, botor. Biji-bijian itu dikumpulkan, lalu dibagi rata kepada perempuan tani yang hadir untuk ditanam di lahan masing-masing saat penghujan nanti.

Kegiatan tukar benih itu merupakan program baru Winih Bebarengan yang menjadi aktivitas perempuan-perempuan tani di komunitas itu sebulan sekali. Tujuannya untuk melestarikan benih-benih pangan lokal yang bisa ditanam di sana agar tak punah.

“Supaya dadi okeh (banyak), ayo ditandur (ditanam) bareng-bareng,” ajak Diah Widuretno, inisiator sekaligus pendiri Sekolah Pagesangan itu.

Tak hanya menanam, Diah pun meminta mereka untuk saling menceritakan kondisi benihnya kelak. Apakah bisa tumbuh, apakah hasil panennya bisa bertambah banyak, atau sebaliknya.

“Mboten nek entuk winih napa terus meneng-menengan, nggih (kalau dapat benih, jangan diam-diam tidak bercerita ya). Ben (biar) kelestarian pangan lokal berkelanjutan,”

“Nggiiiih…!”

Pertemuan selanjutnya, mereka diminta untuk membawa bibit umbi-umbian. Seperti sente, uwi, kimpul, gembili, talas, ganyong (mondro), porang, suweg, garut dan bibit umbi lainnya yang bisa hidup di sana. Sebab umbi-umbian adalah pangan lokal yang tahan suhu tinggi dan bisa hidup dengan sedikit air. Perawatannya pun mudah.

Ikhtiar itu tak lepas dari suhu Bumi yang kian panas. Diah menekankan, tahun 2040 nanti, jika suhu Bumi tak bisa ditekan 0,5 derajat Celcius, maka manusia akan mengalami krisis air yang berdampak pada krisis pangan. Sementara padi yang selama ini diandalkan menjadi pangan pokok, bukanlah tanaman yang tahan suhu tinggi.

“Suk mben, pari saget thukul, ning mboten saget panen. Mangkih yen awake dhewe ora iso panen jagung, pari, awake dhewe saget ngarepke panen umbi-umbian (nanti, padi bisa tumbuh tapi tak bisa dipanen. Kalau kita tidak bisa memanen jagung dan padi, bisa mengharapkan dari umbi-umbian). Pertukaran umbi-umbian untuk melestarikan malih, nanam umbi-umbian sing saget ditandur teng mriki (yang bisa ditanam di sini),”

“Setujuuuu…!” seru perempuan-perempuan tani itu berbarengan.

Proses pendataan untuk mengidentifikasi atau menemukenali kembali kekayaan sumber hayati yang ada di Wintaos sudah dimulai Sekolah Pagesangan sejak 2014-2015-an. Mendata jenis-jenis benih yang berupa biji dan bibit yang bisa tumbuh di sana, siapa menanam apa, dan bagaimana perkembangannya, sehingga menjadi data based.

“Akhirnya ketemu, ternyata ketela yang ditanam di sini saja mencapai 18 jenis,” seru Diah bungah.

Ada telo ireng, telo genjah, telo martapuro, telo mandela, telo brambangan, dan seterusnya. Belum lagi jenis-jenis koro, jenis-jenis kacang, dan lainnya. Perkembangan jenis ketela di sana memungkinkan karena pengembangbiakannya cukup mudah, cukup dengan stek batang.

“Kalau tidak tahu kekayaan sumber hayati, bagaimana kami bertahan hidup? Karena kami percaya, kedaulatan pangan itu berawal dari kedaulatan benih. Kalau nggak tahu benihnya, kami mau nanam apa? Bagaimana pangan lokal kami bisa berdaulat?” tegas Diah.

Yang disebut pangan lokal pun tak harus khas asli daerah tersebut. Bahkan singkong (Manihot espulenta) yang menjadi bahan membuat tiwul berasal dari Amerika Selatan. Begitu pun padi yang menjadi pangan pokok masyarakat Indonesia justru berasal dari Cina. Ada pula yang menyebut dari India.

“Jadi ketika mampu beradaptasi dan tumbuh di sini dan mampu berkembang biak, turun temurun secara alami, ya bisa disebut sebagai tanaman yang mampu beradaptasi. Kalau tumbuh bagus di situ, ya bisa disebut tanaman lokal, sumber daya hayati lokal,” papar lulusan Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga mendalami antropologi itu.

Hilangnya benih-benih pangan lokal di Wintaos, menurut Diah hanya sebagian kecil yang merupakan akibat kebijakan revolusi hijau. Terutama kepunahan jagung putih karena diganti dengan jagung hibrida. Selain itu, benih-benih heirloom yang dipelihara turun temurun masih bisa ditemukan hari ini.

Apabila menengok sejarah, padi tak pernah menjadi pangan dominan di Gunungkidul. Terbukti hingga saat ini, produksinya hanya sekali setahun, meskipun masa tanamnya sama seperti rata-rata padi lainnya, yakni tiga bulan. Sebab lahan sawah tadah hujan dianggap kurang subur, sehingga dianggap kurang produktif, tak berkelimpahan.

“Menurut saya, tekanannya nggak sekencang (pertanian) di Sleman, Bantul. Revolusi hijau itu hanya sebagian kecil. Justru pasca itu, ada banyak peristiwa globalisasi yang lebih gawat,” ucap dia.

Ia mencontohkan tradisi subsisten petani Gunungkidul yang mengutamakan hasil panen untuk mencukupi pangan keluarganya terlebih dulu, kini bergeser. Padahal kebiasaan itu tak lepas dari kondisi geografis kawasan karst dan pegunungan yang didiami.

Sebelum 1980, kawasan Pegunungan Sewu itu masih terisolir. Belum ada infrastruktur jalan dan transportasi seterbuka saat ini, sehingga akses sangat sulit dan terbatas. Terlebih kondisi alam pegunungan yang menantang.

“Ke mana-mana jalan kaki. Kalau nggak ada pangan mau cari ke mana kalau tidak memproduksi pangan sendiri,” imbuh dia.

Terlebih, ada trauma generasi tua akan bencana kelaparan atau zaman gaber pada 1963. Tak heran, rasa aman dan tentram itu sering dimanifestasi dengan ketercukupan pangan. Bahwa stok pangan tercukupi hingga musim panen tahun berikutnya.

Namun generasi sekarang berbeda dengan generasi orang tuanya, kakek neneknya. Mereka hidup di tengah kenyamanan fasilitas. Mau ke mana-mana naik motor, komunikasi gampang, akses terhadap pangan juga menjadi lebih mudah. Warung-warung pun dekat dan lengkap, sehingga mau beli apapun gampang. Dan mereka tak punya trauma masa lalu akan kekurangan pangan.

“Sekarang itu, mendefinisikan tentram adalah kalau punya duit. Itu menurutku sangat mendasar,” ucap Diah.

Itulah yang menjadi alasan mendasar generasi muda sekarang menganggap menjadi petani tak penting. Sebab cara memandang pangan itu berbeda.

Baca juga: Yang Bertahan dan Hilang dari Kemandirian Pangan Lokal di Gunungkidul

“Pergeseran itu jadi ancaman. Sebab kami nggak punya stok pangan sehingga bergantung pada pasar. Kalau tak memproduksi pangan sendiri, berarti kami sudah menyerahkan kedaulatan pangan pada pasar,” Diah resah.

Belum lagi ancaman selanjutnya, yakni krisis iklim. Sementara petani Gunungkidul sangat bergantung pada mangsa atau musim. Mereka mempunyai perhitungan sendiri dengan ilmu titen melalui pranata mangsa.

“Dan sekarang agak susah bagi petani niteni (menandai) pergeseran musim, karena nggak alamiah,” ungkap Diah.

Seperti musim kemarau basah yang terjadi pada 2025 ini. Seharusnya, proses nggaplek atau menjemur singkong yang sudah dikupas dapat dilakukan pada Juli-Agustus. Lantaran kemarau basah, proses penjemuran tak maksimal.

“Gapleknya banyak yang busuk. Jadi menghitam karena terfermentasi,” ungkap dia.

Akibatnya, stok pangan gaplek untuk diolah menjadi tiwul berkurang, bahkan tak ada. Meskipun gaplek yang terfermentasi itu masih bisa dikonsumsi menjadi gatot, tapi tak terlalu bagus untuk disimpan.

“Karena sangat lembab, daya tahan tak lama. Lalu terjadi masalah kedua, harga jual turun,” kata dia.

Contoh gaplek itu cukup memberi gambaran, bahwa krisis iklim akan berdampak pada krisis pangan. Diah mengibaratkan, harus menyiapkan sekoci sejak awal ketimbang berenang di lautan lepas. Berupa kemampuan memproduksi pangan sendiri yang menjadi kebutuhan dasar untuk bertahan dari perubahan dan krisis iklim.

Tak mungkin masyarakat Wintaos menduplikasi secara utuh cara hidup masa lalu untuk diterapkan saat ini. Sebab perubahan tak bisa ditolak, kondisi dulu dan sekarang telah berbeda.

“Kami ingin membuat praktik-praktik baik itu dikenali lagi, dipelajari lagi dan membangun relevansi dengan kondisi sekarang. Itu sangat mungkin bisa dilakukan,” Diah optimis.

Salah satunya lewat kegiatan yang dilakukan perempuan-perempuan petani Wintaos. Mengidentifikasi dan mendata benih-benih yang bisa tumbuh di Wintaos, lalu memperbanyak dengan berbagi benih dan menanamnya kembali.

Mereka juga mengumpulkan aneka resep makanan berbahan baku pangan lokal, serta mempraktikkan dengan memasaknya. Bahkan membuat aneka produk untuk dijual lewat Kedai Sehat Pagesangan. Ada rengginang telo (patilo) berbahan singkong, tiwul instan dari gaplek yang bisa disimpan hingga setahun, emping melinjo matang, sale pisang dari pisang uter. Aneka pangan itu dibuat tanpa pengawet, pemanis, penyedap rasa maupun pewarna buatan. Penjualan bisa secara online maupun melalui pasar-pasar komunitas di wilayah DIY.

Sementara pendekatan yang dilakukan pemerintah selama ini dinilai hanya menjadikan pangan lokal sekadar komoditas khas yang diperdagangkan untuk pariwisata atau pun keperluan-keperluan perdagangan. Bagi Diah, upaya itu tak salah, tetapi masih jauh panggang dari api apabila menjadi solusi untuk mengatasi krisis iklim.

“Sistem pangan lokal tak cukup dipandang sebagai ‘komoditas jualan’. Perlu kebijakan yang lebih radikal dari itu,” ucap Diah.

Jika percaya sistem pangan lokal itu menjadi cara untuk menyelamatkan diri agar bisa bertahan dari krisis iklim, maka gunakanlah sistem pangan lokal yang sebenar-benarnya menjadi pola kehidupan sehari-hari. Mulai dari menanam hingga tersaji di meja makan.

“Menanam apa yang dimakan dan makan apa yang ditanam. Sistem produksi dan konsumsinya seperti itu,” kata Diah.

Kemudian mengubah sistem produksi dengan memperkuat sistem produksi lokal. Artinya, distribusinya harus diatur agar masyarakat lokal menjadi tahu dan lebih mudah untuk mengaksesnya.

“Perlu ada peraturan daerah (perda) yang menyentuh konsumsi harian, kalau ingin perubahan. Tak hanya menyentuh meja-meja rapat, tetapi hingga dapur-dapur di setiap rumah tangga,” tegas dia.

Diversifikasi berbahan pangan lokal

Perempuan-perempuan petani saling tukar benih yang biasa ditanam di lahan tegalan masing-masing di Sekolah Pagesangan di Dusun Wintaos, Desa Girimulyo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin, 29 September 2025. Pito Agustin Rudiana/Wanaloka.com.
Perempuan-perempuan petani saling tukar benih yang biasa ditanam di lahan tegalan masing-masing di Sekolah Pagesangan di Dusun Wintaos, Desa Girimulyo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin, 29 September 2025. Pito Agustin Rudiana/Wanaloka.com.

Bagi Guru Besar Ilmu Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Taryono pun, globalisasi tak bisa dihindarkan. Untuk mengangkat kembali derajat pangan lokal yang kian terasing, menurut dia yang terpenting adalah keberpihakan pemerintah terhadap pangan lokal, baik dalam membuat regulasi maupun mengimplementasikannya.

Baca juga: Putusan Anti SLAPP Bambang Hero dan Basuki Wasis, Perlindungan Pembela Lingkungan

Seperti kebijakan diversifikasi atau keberagaman dalam program swasembada pangan yang ternyata bisa diterjemahkan apa saja. Bagi pemerintah, diversifikasi pangan bisa diartikan mengimpor bahan baku pangan untuk dijadikan aneka produk pangan lokal. Seperti mengimpor gandum untuk dijadikan aneka jajanan pasar.

“Kalau tidak hati-hati, program pemerintah ini kan justru membunuh inovasi masyarakat lokal,” kata Taryono di ruang kerja kampusnya.

Padahal seharusnya, diversifikasi pangan adalah penganekaragaman pangan dengan menggunakan bahan baku pangan lokal yang dibudidayakan masyarakat lokal.

“Mangan opo sing ditandur, nandur opo sing dipangan (makan apa yang ditanam, menanam apa yang dimakan). Itu kan kemandirian. Harus menjadi kebijakan tingkat atas, tidak hanya level rumah tangga,” tegas Taryono.

Meskipun untuk mengimplementasikannya saat ini tak serta merta mudah. Ada sejumlah faktor yang menjadi catatannya.

Terkait

Page 1 of 2
12Next
Tags: Daerah Istimewa YogyakartaFakultas Pertanian UGMGaplekGunungkidulkearifan lokalpangan lokalPegunungan SewuProf TaryonoProf. Bambang Hudayana

Editor

Next Post
Suhu panas di berbagai wilayah di Indonesia diprakirakan sampai awal November 2025. Foto Dok. BMKG.

Capai 37,6°C, Suhu Panas di Indonesia Diprakirakan Hingga Awal November 2025

Discussion about this post

TERKINI

  • Kebakaran lahan gambut di palangkaraya, Kalimantan Tengah. Foto Aulia Erlangga/CIFOR.Mitigasi Kebakaran Lahan Gambut Lewat Pendekatan Ekohidrologi
    In IPTEK
    Minggu, 26 Oktober 2025
  • TPST Kranon di Kota Yogyakarta. Foto Dok. Portal Pemkot Yogyakarta.Walhi Yogyakarta Desak DIY Tolak Proyek PSEL yang Meningkatkan Degradasi Lingkungan di Piyungan
    In Lingkungan
    Minggu, 26 Oktober 2025
  • Air conditioner yang dipasang di rumah-rumah. Foto terimakasih0/pixabay.com.Cuaca Panas Tiap Tahun Makin Ekstrem, Penggunaan AC Justru Meningkatkan Udara Panas
    In IPTEK
    Sabtu, 25 Oktober 2025
  • Biodiesel 40 persen (E40). Foto Kementerian ESDM.Solar Dicampur Biodiesel 40 Persen Tahun 2026, Bensin Dicampur Etanol 10 Persen Tahun 2027
    In News
    Sabtu, 25 Oktober 2025
  • Potret pencemaran plastik di salah satu sungai di Indonesia. Foto dok. Tim Ekspedisi Sungai Nusantara.Penting Tanggung Jawab Industri dan Pemerintah atas Kandungan Mikroplastik dalam Air Hujan
    In News
    Jumat, 24 Oktober 2025
wanaloka.com

©2025 Wanaloka Media

  • Tentang
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

©2025 Wanaloka Media