Meskipun SNDC memuat target ambisius, termasuk restorasi lahan gambut sekitar 2 juta hektar dan rehabilitasi seluas 8,3 juta hektar dalam pengurangan emisi melalui rewetting dan revegetasi, kebijakan nasional lainnya justru menimbulkan ancaman serius terhadap keberlangsungan ekosistem gambut.
SNDC telah mencantumkan aksi mitigasi seperti moratorium izin baru untuk konversi hutan primer serta target restorasi lahan gambut seluas sekitar 2 juta hektar. Manajer Riset Pantau Gambut, Syafiq Gumilang mengungkapkan, situasi ini paradoks dengan realita yang terjadi.
Terbukti, banyak proyek pembangunan yang mengubah area esensial skala luas termasuk ekosistem gambut. Sedangkan sumber emisi di sektor FOLU lahir atas praktik deforestasi, kebakaran, dan alih fungsi lahan. Rata-rata kontribusi per tahunnya FOLU (51,5%), transportasi (12,5%), listrik dan panas (11,4%).
“Harusnya pemerintah Indonesia dengan serius melakukan moratorium permanen industri ekstraktif dan perkebunan yang telah nyata merusak ekosistem gambut,” tegas Syafiq.
Baca juga: Andang Widi Harto, Rekomendasikan Tiga Periode Perkembangan Energi Nuklir di Indonesia
Dalam analisis Pantau Gambut, 3,3 juta hektar luas perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan, 407.267, 537 hektar berada di Kesatuan Hidrologis Gambut. Sebanyak 72% masuk dalam kategori rentan terbakar dengan tingkat sedang, sedangkan sebesar 27% dalam kategori rentan terbakar tingkat tinggi.
Tidak jauh berbeda dengan ancaman di sektor gambut, sektor laut juga jarang diperhatikan. Deputi Pengelolaan Program dan Jaringan KIARA, Erwin Suryana mengungkapkan ancaman serius. Ia menyampaikan, sektor kelautan masih minim dibahas meski diakui strategi melalui blue carbon, konservasi laut, dan blue economy.
SNDC adalah pelemparan tanggung jawab dari perusahaan penyumbang emisi agar diadopsi negara untuk ditanggulangi dampaknya. Selain itu, terdapat asimetri kekuasaan dalam tata kelola laut. Negara sebagai fasilitator pasar karbon laut, korporasi sebagai pendana proyek konservasi laut, dan nelayan sebagai objek yang tidak memiliki kepastian dan sangat rentan terhadap dampaknya.
Baca juga: Walhi Desak Indonesia Suarakan Kembali ke Rakyat – Kembali ke Akar di COP 30
Lebih jauh Erwin menyampaikan, ancaman bagi laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sangat masif terjadi. Contohnya, akibat tambang nikel di pulau kecil, sedimentasi merusak lamun dan terumbu karang, dampaknya hasil tangkap nelayan menurun dan kerusakan permanen terjadi.
“Ambisi pertumbuhan ekonomi yang disampaikan melalui SNDC akan sulit terwujud jika pemerintah Indonesia masih belum menjadikan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sebagai sektor utama yang harus dilindungi,” terang Erwin. [WLC02]







Discussion about this post