Wanaloka.com – Kepala Pusat Riset Hukum (PRH), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Emilia Yustiningrum menyebutkan, ketika permukaan air laut rendah, penduduk yang tinggal di daerah pesisir dapat melakukan aktifitasnya di bidang pertanian. Sebaliknya, ketika permukaan air laut meningkat, mereka terpaksa harus mencari pekerjaan lain.
Sementara perubahan iklim telah mengakibatkan peningkatan permukaan air laut yang terjadi di wilayah pesisir. Tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak bagian dunia. Mau tak mau, perempuan pun terpaksa harus ikut mencari pendapatan. Mengingat perubahan iklim terkait dengan keragaman gender dan kerja paksa.
Persoalannya, perempuan tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan, bahkan dalam mengambil keputusan untuk pindah ke tempat lain ketimbang laki-laki.
Baca Juga: Setahun Bentrok dengan Aparat, Warga Rempang Berziarah ke Makam Leluhur
“Dalam beberapa poin, perempuan memiliki tingkat pendapatan yang lebih rendah. Padahal memiliki tanggung jawab lebih banyak, karena di samping mereka terpaksa harus bekerja, juga harus merawat anak-anaknya. Beberapa kasus juga merawat orang tuanya,” kata Emilia dalam Forum KONEKSI Research Grant di BRIN Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, Kamis 5 September 2024.
Sementara Profesor Universitas Diponegoro (Undip), Wiwandari Handayani dalam paparan hasil risetnya menjelaskan berbagai dampak dari perubahan iklim. Salah satunya pada keuangan rumah tangga. Lebih dari 80 persen perempuan yang ikut serta dalam survei menyampaikan, bahwa pendapatan rumah tangga mereka ikut terdampak perubahan iklim.
Mengingat 75 persen rumah keluarga perempuan rusak akibat bencana, sehingga menimbulkan peningkatan biaya perbaikan. Peningkatan biaya ini mendorong keluarga semakin terjerumus ke dalam kemiskinan. Selain itu, sebanyak 88 persen anak-anak telah melihat banjir di rumah mereka dan sebanyak 11,8 persen menyatakan banjir terjadi setiap hari.
Baca Juga: Lokalogi, Komunitas Pemilah dan Pengolah Sampah di UGM
“Anak-anak melaporkan sekolah dan jalan ditutup karena banjir, sehingga mengganggu pendidikan mereka,” imbuh Wiwandari.
Tak Masuk Kategori Bencana
Sementara Profesor dari Griffith University Australia yang juga pemimpin program, Amy Young membeberkan tantangan kebijakan yang ada saat ini. Bahwa Undang-Undang Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007 merupakan undang-undang penting untuk menanggulangi bencana di Indonesia. Namun UU ini tidak mengkategorikan kenaikan muka air laut dan penurunan tanah sebagai bencana.
“Bencana yang terjadi secara perlahan seperti kenaikan muka air laut belum menjadi prioritas pemerintah daerah. Sebagian besar respons berfokus pada infrastruktur keras dan sedikit perhatian pada isu keadilan sosial dan solusi lain, seperti solusi berbasis alam,” jelas Amy Young.
Baca Juga: Simulasi dan Sistem Peringatan Dini Berfokus Potensi Gempa Megathrust
Saat ini, tidak ada kebijakan yang tersedia untuk menampung orang-orang yang terpaksa direlokasi karena kenaikan permukaan air laut.
“Tidak ada skala prioritas untuk menanggapi daerah yang paling rentan dan rusak akibat kenaikan muka air laut di daerah pesisir. Terdapat kesenjangan dalam kebijakan yang berkaitan dengan jaminan sosial adaptif untuk mengakomodasi dampak perubahan iklim,” imbuh dia.
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti PRH BRIN, Laely Nurhidayah merinci berbagai rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan. Antara lain, merevisi UU Penanggulangan Bencana dengan memasukkan kenaikan muka air laut dan penurunan tanah menjadi kategori bencana dan memasukkannya dalam rencana kontinjensi.
Discussion about this post