Wanaloka.com – Kasus keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG) belum surut. Yang terbaru, 695 orang siswa dan guru dari SMK Negeri 1 Saptosari dan SMP Negeri 1 Saptosari di Kabupaten Gunungkidul diduga keracunan usai menyantap sajian MBG, Kamis, 30 Oktober 2025.
Meliputi 476 orang dari SMKN 1 Saptosari, termasuk 10 guru dan tenaga pendidik yang mencicipi, ditambah 186 siswa SMPN 1 Saptosari. Kedua sekolah itu dilayani Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang sama.
Kasus keracunan pangan dalam pelaksanaan Program MBG yang terus berulang mendorong para peneliti dan dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) menyerukan evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola program tersebut dengan pendekatan lintas disiplin. Isu ini menjadi perhatian karena menyangkut keselamatan dan keadilan bagi masyarakat penerima manfaat. Mereka mendesak adanya pengawasan kuat agar tujuan program tidak melenceng dari semangat peningkatan gizi nasional.
Baca juga: Mikroplastik Masuk Tubuh Lewat Makanan, Minuman dan Udara
Direktur Pusat Kedokteran Tropis UGM, Citra Indriani menyampaikan, pelaksanaan MBG memerlukan sistem pengelolaan yang tidak hanya berorientasi pada distribusi makanan bergizi, tetapi tetap harus menjamin keamanan dan akuntabilitasnya. Perlu ada sinergi antara perencanaan, pengadaan, distribusi, dan mekanisme tanggung jawab apabila terjadi masalah di lapangan.
Sebab keberhasilan program publik bergantung pada sistem yang mampu memastikan transparansi di setiap tahap pelaksanaan.
“MBG bukan hanya tentang nutrisi, tetapi bagaimana sistem bekerja, mulai dari perencanaan, pengadaan, distribusi, hingga tanggung jawab ketika terjadi masalah,” ujar Citra dalam webinar bertajuk “Keracunan Pangan dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG): Tata Kelola dan Akuntabilitas dalam Perspektif Hukum, Sosial, dan Ekonomi” yang diselenggarakan Pusat Kedokteran Tropis (PKT) UGM bersama Departemen Biostatistik, Epidemiologi, dan Kesehatan Populasi FK-KMK UGM, Kagama, dan Komunitas Sambatan Jogja (SONJO), Sabtu, 25 Oktober 2025.
Baca juga: Masyarakat Sipil Tolak AZEC, Solusi Palsu Perpanjang Ketergantungan Energi Fosil
Dari sisi hukum, Dosen Fakultas Hukum UGM, Sri Wiyanti Eddyono menilai kebijakan MBG belum memiliki mekanisme pemulihan yang memadai bagi korban keracunan pangan. Ia menekankan pentingnya sistem pertanggungjawaban yang jelas agar masyarakat memiliki perlindungan hukum ketika terjadi kelalaian.
Menurut dia, keadilan sosial tidak hanya diukur dari pemerataan manfaat, tetapi dari bagaimana negara menegakkan tanggung jawab atas dampak kebijakan publik.
“Ganti rugi bisa diajukan secara perdata melalui gugatan class action,” jelas dia.
Dari perspektif ekonomi, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UGM, Wisnu Setiadi Nugroho menilai kasus keracunan pangan mencerminkan lemahnya tata kelola program publik yang seharusnya bisa diantisipasi sejak awal.
Baca juga: Ubi Kayu Berpotensi Jadi Pengganti Tepung Terigu Impor
Ia berpendapat, pembelajaran dari pengalaman negara lain dapat menjadi acuan dalam memperkuat sistem perencanaan dan pengawasan di Indonesia. Dengan mengadaptasi praktik terbaik, pemerintah dapat menekan potensi risiko dan meningkatkan efisiensi pelaksanaan program.
“Kita tidak perlu mengalami kesalahan yang sama. Banyak negara sudah punya contoh yang bisa dijadikan acuan sebelum program dijalankan secara nasional,” tegas dia.
Sementara itu, Guru Besar FEB UGM, Prof. Agus Sartono menilai pendekatan desentralisasi lebih efektif dibandingkan pengadaan terpusat dalam pelaksanaan MBG. Ia menekankan perlunya pemberdayaan sekolah, pesantren, dan komunitas lokal agar dapat mengelola langsung dana program sesuai kebutuhan wilayahnya. Model ini tidak hanya mengurangi potensi kebocoran, tetapi bisa meningkatkan rasa tanggung jawab masyarakat terhadap keberhasilan program.
“Untuk pesantren dan sekolah yang sudah punya dapur atau kantin, cukup salurkan dananya langsung agar mereka bisa mengelola sendiri,” jelas dia.
Baca juga: Kayu Laminasi, Solusi Keterbatasan Kayu Solid Akibat Alih Fungsi Hutan
Agus juga mengingatkan agar anggaran MBG tidak membebani sektor pendidikan secara keseluruhan. Keseimbangan alokasi dana harus dijaga agar tidak mengorbankan program lain seperti perbaikan infrastruktur sekolah atau peningkatan kualitas pembelajaran. Pemerintah diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara tujuan peningkatan gizi dengan penguatan mutu pendidikan.
“Jangan sampai program ini mengurangi kesempatan untuk memperbaiki aspek-aspek pendidikan yang lain,” imbuh dia.







Discussion about this post