Sebelumnya, Perkara Nomor 181/PUU-XXII/2024 dimohonkan Perkumpulan Pemantau Sawit (Sawit Watch). Lembaga yang berdiri sejak 1998 itu, salah satu kegiatannya melakukan kajian terhadap kebijakan dan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, khususnya sawit dan dampaknya terhadap ekologi, sosial, dan ekonomi. Pemohon diwakili Koordinator Badan Pengurus Perkumpulan Pemantau Sawit, Nurhanudin Achmad.
Baca juga: Capai 37,6°C, Suhu Panas di Indonesia Diprakirakan Hingga Awal November 2025
Pemohon melihat sanksi administratif dan denda administratif di bidang kehutanan yang diatur UU 18 Tahun 2013 bukanlah sebuah solusi yang benar karena hanya akan menjadi sebagai upaya pengampunan atau pemutihan bagi perkebunan-perkebunan sawit perusahaan besar di dalam kawasan hutan.
Menurut Nurhanudin, seharusnya pemerintah bertindak persuasif terhadap orang perorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau sekitar kawasan hutan yang belum terdaftar dalam kebijakan penataan kawasan hutan dengan melakukan kebijakan penataan kawasan hutan in casu melakukan pendaftaran orang perorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang belum terdaftar dalam kebijakan penataan kawasan hutan di dalam kebijakan penataan kawasan hutan.
Pemohon dalam petitumnya memohon kepada Mahkamah untuk mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Sejumlah permohonan Pemohon Adalah, Pertama, memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 12A ayat (2) sepanjang kalimat “dikecualikan” dan “dan terdaftar dalam kebijakan penataan Kawasan Hutan” UU 18 Tahun 2013 serta menyatakan Pasal 17A ayat (2) sepanjang kalimat “dikecualikan” dan “dan terdaftar dalam kebijakan penataan Kawasan Hutan” UU 18 Tahun 2013 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan dan diselesaikan melalui penataan Kawasan Hutan”.
Baca juga: Ikhtiar Petani Gunungkidul Menjaga Pangan Lokal yang Terancam Ditinggalkan
Kedua, menyatakan Pasal 110B ayat (1) sepanjang frasa “Kegiatan lain” UU 18/2013 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Ketiga, menyatakan Pasal 110B ayat (2) sepanjang frasa “paling singkat lima tahun secara terus menerus dengan luasan paling banyak lima hektare” UU 18/2013 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai “tidak berlaku orang perseorangan yang telah menguasai/memiliki dan mempergunakan tanahnya sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan.”
Memicu evaluasi kebijakan turunan
Sebelumnya, permohonan tersebut dimohonkan Sawit Watch bersama kuasa hukumnya, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) pada penghujung 2024 lalu. Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, menegaskan putusan MK itu punya peran signifikan bagi perlindungan hak-hak masyarakat. Putusan ini tidak hanya sebuah kemenangan, tetapi juga menjadi pemicu untuk evaluasi kebijakan turunan.
“Putusan ini telah menjadi kemenangan rakyat karena melindungi hak masyarakat atas hutan,” tegas Surambo dalam siaran yang diterima, Jumat, 17 Oktober 2025.
Menurut dia, seharusnya putusan ini dapat dimaknai bahwa definisi masyarakat adalah termasuk petani kecil perkebunan sawit yang melakukan aktivitas perkebunan di hutan. Dan mereka termasuk yang terlepas dari sanksi administratif yang sebelumnya dikenakan dalam UU Cipta Kerja.
Baca juga: Yang Bertahan dan Hilang dari Kemandirian Pangan Lokal di Gunungkidul
Selain itu, putusan itu seharusnya menjadi bahan koreksi atas segala aturan pelaksana atau aturan turunan UU Cipta Kerja yang terkait penataan kawasan hutan, khususnya yang berdampak bagi masyarakat di kawasan hutan.
Sebelumnya, untuk memperkuat substansi permohonan, Sawit Watch menghadirkan ahli dan saksi yang merupakan masyarakat terdampak. Grahat Nagara, selaku ahli hukum, menguraikan pandangan akademis yang mendukung dalil gugatan. Sementara itu, kesaksian faktual datang dari masyarakat Desa Ujung Gading Julu, Padang Lawas Utara, Sumatra Utara yang memberikan gambaran langsung mengenai kesulitan dan dampak nyata yang mereka hadapi di lapangan.
Senada hal tersebut, Penasehat Senior IHCS, Gunawan menyoroti Putusan MK dapat menjadi fondasi untuk memperkuat mekanisme Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan dalam kerangka reforma agrarian.
“Jadi skema penataan hutan tidak semuanya melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH), tapi juga melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA),” kata Gunawan.
Sawit Watch bersama IHCS akan melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan putusan MK ini. Mereka juga akan melakukan pengaduan konstitusional jika putusan tersebut dilanggar. [WLC02]
Sumber: Mahkamah Konstitusi







Discussion about this post