Kamis, 27 November 2025
wanaloka.com
  • Home
  • Indepth
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
  • Home
  • Indepth
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
wanaloka.com
No Result
View All Result
  • Home
  • Indepth
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

Represi Konflik Agraria Meningkat, Tindak Lanjut Pansus Reformasi Agraria dan Peran Presiden Dipertanyakan

Kehadiran lembaga ini merupakan keharusan untuk memastikan penyelesaian konflik agraria, redistribusi tanah dan pengembangan ekonomi rakyat dalam kerangka reforma agraria berjalan secara sistematis dan komprehensif.

Rabu, 26 November 2025
A A
Aksi Hari Tani Nasional 2025 serukan pelaksanaan reforma agraria, 24 September 2025. Foto KPA.

Aksi Hari Tani Nasional 2025 serukan pelaksanaan reforma agraria, 24 September 2025. Foto KPA.

Share on FacebookShare on Twitter

Wanaloka.com – Aliansi dari berbagai organisasi masyarakat sipil di Indonesia, Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) mengecam dan mengutuk keras kasus penembakan terhadap lima petani Pino Raya, Bengkulu Selatan, Senin, 24 November 2025. Peristiwa ini merupakan cerminan kasus kekerasan dan tindakan represif masih terus terjadi di lapangan, bahkan meluas akibat tidak adanya kanal penyelesaian konflik yang sistematis dan komprehensif.

Kasus kekerasan yang dialami petani Pino Raya bukanlah satu-satunya yang terjadi dalam sebulan terakhir. Berdasarkan catatan KNPA, sedikitnya terjadi sembilan kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap para petani, masyarakat adat dan para pejuang hak atas tanah, baik yang dilakukan aparat kepolisian maupun pihak keamanan perusahaan.

Mereka mengalami kekerasan dan kriminalisasi karena berjuang mempertahankan hak atas tanahnya dari perampasan perusahaan negara dan swasta, maupun untuk kepentingan Proyek Strategis Nasional (PSN).

Selain kasus Pino Raya, para petani di Cot Girek, Aceh Utara juga mengalami kriminalisasi akibat berkonflik dengan PTPN IV. Empat orang petani tiba-tiba ditetapkan sebagai tersangka karena dituduh melakukan kekerasan.

Baca juga: Hujan Lebat Dua Hari Lebih, Empat Kabupaten di Sumatra Utara Diterjang Banjir dan Longsor

Di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, 15 orang petani Serikat Tani Kerakyatan Sumedang (STSK) mengalami kriminalisasi akibat berkonflik dengan  PT. Subur Setiadi. Pihak perusahaan berdalih para petani melakukan pengrusakan tanaman perusahaan.

Di Cianjur, Jawa Barat, masyarakat dihadapkan ancaman perampasan tanah akibat rencana pembangunan PSN Geothermal milik PT Dayamas Geopatra Pangrango. Sejak awal 2025, masyarakat terus mendapat intimidasi dan kekerasan dari aparat gabungan.

Selanjutnya di Kendal, Jawa Tengah, dua orang petani Paguyuban Petani Kawulo Alit Mandiri dan tokoh paguyuban dikriminalisasi pihak PT Soekarli. Di Jawa Timur, seorang petani di Ijen, Kabupaten Bondowoso dijemput paksa aparat kepolisian berkaitan konflik agraria antara warga dengan PTPN XII.

Di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, sedikitnya 14 orang warga dan aktivis mahasiswa dikriminalisasi. Hanya karena mereka melakukan protes terhadap operasi perusahaan perkebunan PT. Sawindo Cemerlang yang merampas tanah masyarakat.

Baca juga: Akhir Pencarian 11 Korban Longsor Banjarnegara di Bawah Ancaman Tanah Bergerak

Di Sumatera Utara, kekerasan dan kriminalisasi terjadi di dua tempat dalam waktu yang berdekatan, yakni di Kabupaten Dairi dan Toba Samosir. Kekerasan itu akibat konflik agraria antara warga dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan PT Gruti.

Rentetan kasus ini membuktikan Panitia Khusus Penyelesaian Konflik Agraria (Pansus PKA) DPR RI yang telah dibentuk pada 2 Oktober 2025 lalu belum bekerja. Perlu diingat, Pansus PKA ini adalah kesepakatan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara DPR dan pemerintah bersama massa aksi Hari Tani Nasional 2025 (HTN). Termasuk komitmen DPR untuk mendorong Presiden Prabowo Subianto membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional (BP-RAN).

KNPA menengarai, rentetan represifitas dan kekerasan yang terjadi beberapa waktu terakhir di berbagai wilayah merupakan sinyal DPR dan Presiden belum serius menjalankan reforma agraria. Sebab, situasi di lapangan terus memburuk tanpa ada indikasi perbaikan dalam penanganan konflik agraria.

Pembungkaman terhadap petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan dan masyarakat yang mempertahankan tanah terus berlangsung tanpa ada atensi yang baik dari pemerintah. Situasi ini semakin memperparah krisis agraria dan demokrasi di Indonesia.

Baca juga: Etty Riani, Timbunan Limbah Cangkang Kerang Hijau Terkontaminasi Logam Berat

PR besar DPR dan Presiden

Pengerahan aparat dengan pendekatan represif dan kriminalisasi secara berulang digunakan dalam menangani konflik agraria di lapangan, alih-alih menurunkan kementerian dan lembaga terkait untuk menyelesaikan persoalan konflik agraria yang terjadi. Padahal dalam RDP tersebut, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) telah mengingatkan ketika terjadi konflik agraria, pemerintah seharusnya menurunkan Menteri/Lembaga terkait, bukan aparat keamanan yang justru memperkeruh situasi.

“Berbagai kejahatan agraria terus berlangsung, rakyat masih harus menerima ancaman kebebasan berserikat, kriminalisasi, kekerasan POLRI-TNI dan keamanan perusahaan, hingga kehilangan nyawa,” tegas Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika dalam siaran tertulis yang diterima Wanaloka.com, Rabu, 26 November 2025.

Dewi mengingatkan Pansus PKA harus segera diaktifkan dan bekerja secara efektif untuk menginventarisasi, memverifikasi, dan merekomendasikan penyelesaian konflik yang melibatkan perusahaan sawit (seperti di Bengkulu Selatan, Sumedang, Kendal dan Banggai), BUMN (seperti PTPN di Aceh Utara dan Ijen), HTI perusahaan swasta (di Dairi dan Toba Samosir) serta proyek-proyek energi yang mengakibatkan perampasan tanah masyarakat (seperti Geothermal Pangrango).

“Pansus harus mengevaluasi tuntas keterlibatan aparat dan menjamin penarikan pihak keamanan perusahaan dari wilayah konflik agraria,” tegas Dewi.

Baca juga: Sumatra Barat Jadi Role Model Sistem Satu Data Bencana yang Sensitif Gender

Dewi juga mendesak Presiden Prabowo segera membentuk BP-RAN. Kehadiran lembaga ini merupakan keharusan untuk memastikan penyelesaian konflik agraria, redistribusi tanah dan pengembangan ekonomi rakyat dalam kerangka reforma agraria berjalan secara sistematis dan komprehensif.

“Eskalasi kekerasan dan kriminalisasi menegaskan penyelesaian konflik tidak bisa dilakukan secara parsial, melainkan membutuhkan terobosan politik, diskresi hukum dan perubahan kelembagaan struktural,” imbuh Dewi.

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Boy Jerry Even Sembiring menyatakan pengurus negara selama ini telah salah dalam mengurus sumber-sumber penghidupan. Kesalahan ini menyebabkan krisis multidimensi. Hilangnya kedaulatan rakyat atas wilayah kelolanya,  juga akan berdampak penurunan kualitas lingkungan.

Rakyat tidak lagi mampu menjalankan pengetahuan dan praktik tradisional mereka dalam merawat alam. Kesalahan pengurus negara ini juga terus mendorong peningkatan eskalasi konflik agraria. Alih-alih menanganinya secara struktural, justru pengurus negara dan pihak perusahaan melakukan tindakan represif.

Baca juga: Pertahankan Tanaman dari Perusakan Perusahaan Sawit, Lima Petani Pino Raya Ditembak

“Akhirnya kekerasan, kriminalisasi adalah ancaman yang harus dihadapi rakyat saat memperjuangkan hak mereka atas tanah dan lingkungan hidup yang baik,” papar Boy.

Deputi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Eustobio Rero Renggi menyatakan masyarakat adat menjadi salah satu kelompok paling terdampak akibat memburuknya situasi agraria. Banyak konflik tersebut terjadi di wilayah adat, di mana masyarakat adat menghadapi perampasan ruang hidup dan kriminalisasi berlapis.

Tindakan represif  dan kekerasan terhadap masyarakat adat merupakan bentuk pengingkaran terhadap Pasal 18B ayat (2), Putusan MK 35, dan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yang mewajibkan negara menghormati hak kolektif masyarakat adat.

Terkait

Page 1 of 2
12Next
Tags: Badan Pelaksana Reforma Agraria NasionalKomisi XIII DPR RIKomite Nasional Pembaruan Agrariakonflik agrariaPansus Penyelesaian Konflik Agrariapetani Pino Raya

Editor

Discussion about this post

TERKINI

  • Aksi Hari Tani Nasional 2025 serukan pelaksanaan reforma agraria, 24 September 2025. Foto KPA.Represi Konflik Agraria Meningkat, Tindak Lanjut Pansus Reformasi Agraria dan Peran Presiden Dipertanyakan
    In Lingkungan
    Rabu, 26 November 2025
  • Kondisi jembatan yang putus akibat banjir di Tapanuli Utara, Sumatra Utara, 25 November 2025. Foto BPBD Tapanuli Utara.Hujan Lebat Dua Hari Lebih, Empat Kabupaten di Sumatra Utara Diterjang Banjir dan Longsor
    In Bencana
    Rabu, 26 November 2025
  • Bunga-bunga tabur dari keluarga korban, warga, tim SAR, pemerintah Banjarnegara menutup pencarian 11 korban hilang akibat ongsor, 25 November 2025. Foto Dok. BNPB.Akhir Pencarian 11 Korban Longsor Banjarnegara di Bawah Ancaman Tanah Bergerak
    In Rehat
    Rabu, 26 November 2025
  • Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB UNiversity, Prof. Etty Riani. Foto CRPG Indonesia/youtube.Etty Riani, Timbunan Limbah Cangkang Kerang Hijau Terkontaminasi Logam Berat
    In Sosok
    Selasa, 25 November 2025
  • Tampilan dasbor sistem informasi Satu Data Bencana (SDB) yang menampilkan menu informasi kebencanan dan dapat diakses publik untuk ketangguhan masyarakat Sumatra Barat yang diluncurkan di Auditorium Gubernur Sumatra Barat, Kota Padang, Selasa, 25 November 2025. Foto Pemprov Sumbar.Sumatra Barat Jadi Role Model Sistem Satu Data Bencana yang Sensitif Gender
    In News
    Selasa, 25 November 2025
wanaloka.com

©2025 Wanaloka Media

  • Tentang
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

No Result
View All Result
  • Home
  • Indepth
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

©2025 Wanaloka Media