“Tapi bisa juga dibaca terganggunya kepentingan bisnis Bahlil dan Luhut, serta sejumlah pengusaha dan elit politik yang tersebar di tiga pasangan capres-cawapres Pemilu 2024,” tukas Melky.
Bahlil, misalnya, terhubung ke PT Meta Mineral Pradana, perusahaan tambang nikel yang memiliki dua izin tambang di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Pemegang saham perusahaan ini dimiliki PT Rifa Capital sebanyak 10 persen dan PT Papua Bersama Unggul sebanyak 90 persen yang merupakan milik Bahlil.
Baca Juga: Pemerintah Bangun 27 PLTMG untuk Konversi Diesel ke Gas
Sementara Luhut, relasinya terkait dengan PT Energi Kreasi Bersama (Electrum), perusahaan patungan antara PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GoTo) dan PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA), milik Luhut. Electrum berfokus pada pengembangan ekosistem dan industri kendaran listrik secara terintegrasi dari hulu ke hilir, meliputi manufaktur sepeda motor listrik, teknologi pembuatan baterai, infrastruktur penukaran (swap) baterai dan stasiun pengisian daya, hingga pembiayaan.
Melalui GoTo pula, kepentingan bisnis Luhut ketemu dengan Garibaldi Boy Thohir, yang beberapa hari lalu mengklaim sejumlah taipan mendukung pasangan Prabowo-Gibran. Boy Thohir tercatat sebagai pemegang saham sekaligus menjabat sebagai Komisaris GoTo.
Baca Juga: Ratusan Warga Sukabumi Terancam Longsor Susulan
Jatam menduga, saling “serang” antara Tom versus Luhut dan Bahlil hanya terkait kepentingan mereka sendiri dan kroni serta industri itu sendiri. Parahnya lagi, gaduh nikel itu demi meraup keuntungan politik dalam Pemilu 2024. Bukan dalam rangka mengatasi penderitaan dan kerusakan lingkungan akibat proyek hilirisasi.
“Dipakai atau tidak dipakainya nikel Indonesia oleh Tesla, sama sekali tak berdampak pada pengurangan pembongkaran nikel di Kepulauan Sulawesi, Maluku, hingga Papua. Sebaliknya, pembongkaran terus berlanjut, mengabaikan derita rakyat dan kerusakan lingkungan yang tak pernah terurus,” tegas Divisi Hukum Jatam, Muh. Jamil. [WLC02]
Sumber: Jatam
Discussion about this post