Wanaloka.com – Indonesia sudah masuk pada krisis iklim. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat cuaca mengalami anomali karena hujan akan terus turun selama musim kemarau dari bulan Mei hingga Oktober 2025. Anomali cuaca ini membuat sebagian daerah di Indonesia diguyur hujan lebat hingga banjir, sedangkan di sebagian daerah lainnya masih kemarau.
Wilayah hujan lebat hingga ekstrem berada di wilayah Jawa bagian barat dan tengah, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Maluku, dan Papua. Sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat per 14 September 2025 sudah terjadi 24 bencana hidrometeorologi dan vulkanologi yang menyebabkan ribuan keluarga terdampak.
Salah satu bencana hidrometeorologi yang menarik perhatian publik adalah banjir di sejumlah titik di Bali. Data sementara menyebutkan banjir tersebut telah menyebabkan 18 orang meninggal dunia per tanggal 16 September 2025.
Baca juga: Gempa Dangkal M6,5 di Nabire Dipicu Sesar Anjak Weyland
Jaringan Masyarakat Peduli Iklim (Jampiklim) Yogyakarta yang diinisiasi pada 2019, menyatakan turut berduka cita atas meninggalnya korban akibat bencana hidrometeorologi yang sedang terjadi di tanah air. Jampiklim mengingatkan bahwa bencana ini tidak hanya membutuhkan penanganan segera dari pemerintah, tetapi juga membutuhkan perubahan kebijakan yang mendesak.
Pada level pusat, pemerintah harus berkomitmen kuat dalam membentuk kebijakan yang ramah terhadap lingkungan. Peraturan-peraturan yang selama ini memberikan risiko besar pada lingkungan seperti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 atau Omnibus Law dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Mineral dan Batubara harus dicabut karena telah terbukti mengeksploitasi dan merusak keseimbangan alam.
Tak hanya itu, harus diakui, banyak berita beredar menjelaskan bahwa peraturan-peraturan ini juga telah terbukti merugikan rakyat kecil di sekitar wilayah yang dieksploitasi alamnya secara rakus. Peraturan presiden tentang tata ruang, kawasan strategis nasional hingga kawasan ekonomi khusus harus ditinjau ulang karena berpotensi merusak bentang alam dan lingkungan.
Baca juga: Masyarakat Sipil Nilai IIGCE 2025 Merampas Ruang Hidup Lewat Proyek Panas Bumi
Arami Kasih, Koordinator Jampiklim Yogyakarta, mengatakan, pada level daerah, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta juga harus meninjau Kembali peraturan tentang tata ruang daerah.
“Pemerintah daerah tidak boleh mengubah kawasan bentang alam yang dilindungi maupun kawasan karst. Kawasan penambangan di kaki Merapi, pesisir Sungai Progo maupun Pegunungan Seribu harus dihentikan, karena perubahan bentang alam yang dilindungi dapat berdampak pada bencana kepada masyarakat di sekitar kawasan tersebut,” tegas Arami Kasih.







Discussion about this post