Wanaloka.com – Gubernur Nusa Tenggara Timur, Emanuel Melkiades Laka Lena membentuk tim teknis untuk mengevaluasi proyek panas bumi yang terus memicu perlawanan di banyak tempat. Baik di Wae Sano, Poco Leok, Ulumbu, Mataloko, Nage, Sokoria, hingga Atadei di Lembata.
Laporan tim teknis menyebut sebagian besar masyarakat mendukung, lingkungan tetap sehat, air masih aman, tanah masih subur. Bertolak belakang dengan fakta yang dialami warga. Napas mereka terpapar gas beracun tiap hari, kulitnya gatal karena air tercemar, tanahnya pecah-pecah sehingga tak lagi bisa ditanami.
“Kami tahu persis, laporan tim teknis itu tidak mencerminkan kenyataan. Dan Gubernur menyerahkan nasib kami kepada tim itu tanpa pernah sekali pun datang melihat langsung penderitaan kami,” seru warga.
Baca juga: Desain Kapal Pembersih Sampah di Sungai Perkotaan
Di Mataloko, semburan uap dan lumpur panas muncul di kebun warga, menyebar hingga 2.000 meter persegi. Bau belerang menguasai udara. Setiap dini hari, warga menghirup aroma belerang dalam setiap tarikan napas.
Warga juga terkena penyakit kulit, gatal-gatal menyebar, terutama anak-anak. Ini semua telah diberitakan banyak media. Tetapi laporan tim teknis menyebut semuanya ‘terkendali’.
Di Desa Wogo, suara mendesis dari dalam tanah terus terdengar. Menandakan Bumi tengah bergolak. Tapi suara itu, seperti suara warga, tidak dimasukkan ke dalam laporan.
Baca juga: Banjir Musim Kemarau, Greenpeace Serukan Penghentian Ekspansi Energi Fosil
Sungai Tiwu Bala di Ladja juga telah ditanami batang-batang pipa besi untuk menyedot dan mengalirkan airnya dari dalam perut bumi. Warga yang sehari-hari memanfaatkan dan mendapatkan kehidupan dari sekitar sungai, kini merasa was-was akan kandungan air. Warna, aroma dan rasanya telah berubah.
Di Nage, tiga rumah adat terpaksa dibongkar. Lantaran kampung adat yang berjarak 1,5 kilometer dari sumur bor mengalami keretakan tak terkendali. Lantai dapur terbelah, tembok rumah menganga seolah bertanya: kepada siapa setiap guncangan ini bisa dipertanggungjawabkan.
Namun tak ada satupun pemerintah dan pihak perusahaan yang bisa menjawab. Saat malam, anak-anak tak lagi tidur tenang. Warga khawatir dari setiap detik suara yang muncul akan menelan rumah beserta keluarganya ke dalam Bumi.
Baca juga: Kusta Bukan Penyakit Kutukan, Kusta Bisa Disembuhkan
Tapi tim teknis yang datang mengatakan, bahwa ini tak ada sangkut pautnya dengan urusan panas bumi.
Di Sokoria, sumber air warga berubah warna dan bau. Mata air yang sebelumnya menjadi kehidupan ekosistem air tawar, seperti kepiting, ikan, dan udang kini tak ditemukan kembali. Warga yang biasanya mendapat air dari alam, kini harus membeli dan berebut tangki air, termasuk untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari.
Perusahaan memberi janji listrik untuk mengaliri rumah-rumah warga. Tetapi tak pernah terbukti. Justru setiap musim hujan, rumah warga tetap gelap gulita.
Baca juga: Konferensi Internasional Jadi Upaya Geopark Kaldera Toba Raih Kembali Green Card UNESCO
Peta geothermal Flores
Hasil pertanian menurun, lahan-lahan menjadi sulit diolah. Warga yang dikenal sebagai salah satu penghasil kopi arabika terbaik di Bumi Flores, kini hanya memanen kerugian. Kopi arabika unggulan Sokoria tinggal nama. Buahnya menghitam dan rontok sebelum sempat dipetik. Kakao yang menunjang kehidupan ekonomi rumah tangga juga mengalami nasib tak jauh beda.
Seorang tetua adat dibawa paksa tentara. Diintimidasi untuk menyatakan dukungan terhadap proyek, padahal warga lain menolak. Ini jelas bukan dialog, juga bukan partisipasi, tapi tekanan dalam rupa kerjasama.
Di Poco Leok, kekerasan sudah menjadi cerita harian. Warga yang mempertahankan tanahnya dipukul, diinjak, diintimidasi. Beberapa mengalami kekerasan seksual, sedangkan 17 orang lainnya dikriminalisasi.
Baca juga: Dietriech Geoffrey, Merkuri Masuk ke Perairan Lewat Limbah Industri hingga Keramba Jaring Apung
Tidak cukup dengan itu, skema penundukan dengan cara manipulasi data dan informasi juga dimainkan. Mereka yang berkuasa bermain melalui pemberitaan media-media dan laporan dokumen resmi ke pihak bank KfW Jerman.
Bahkan, Bupati Manggarai, alih-alih mendengar suara warga Poco Leok, justru memobilisasi massa tandingan untuk mengintimidasi warga. Di kampung, warga mempertahankan hak hidup dari kuasa pemerintah dan aparat. Bahkan wartawan Floresa yang meliput perlawanan warga ikut diintimidasi, seolah kebenaran dianggap ancaman.
Warga tak pernah peduli pada teknologi canggih yang dipakai untuk melakukan pemboran ibu bumi. Yang diprotes warga adalah kehadiran mata bor yang menghancurkan kehidupan warga dan kampung di Wae Sano.
Bagi masyarakat adat Wae Sano, alam sebagai ruang hidup adalah satu kesatuan kosmos dari kampung adat, tempat adat, perkebunan/pertanian, mata air, hutan dan danau. Ia tak dapat dapat dipecah belah, dirusak, dan disakiti satu dengan yang lain.
Tak ada pembangunan yang boleh menabrak kehidupan. Jika perusahaan tetap memaksa bor, warga Wae Sano akan punah dan kebudayaan akan hilang. Panas bumi akan menjadi alat pemusnahan dan membunuh kehidupan dan kesatuan alam.
Tanah bukan hanya tempat berpijak. Di Flores dan Lembata, tanah adalah sumber pangan, sumber air, sumber martabat. Ketika proyek geothermal masuk, mereka tidak hanya datang membawa alat berat. Mereka datang dengan peta konsesi yang mencaplok ladang, kebun, mata air, dan ruang hidup warga.
Baca juga: Menteri Kesehatan Janjikan Nol Kusta, Nol Disabilitas, Nol Stigma
Di Mataloko, lahan diambil untuk jalan masuk dan wellpad tanpa proses yang adil. Di Atadei, tanah ulayat disebut sudah ‘bebas, padahal pemilik adat belum diajak bicara. Suara warga tak pernah didengarkan, tim satgas yang datang hanya melakukan presentasi sepihak.
Warga memilih meninggalkan forum karena suara kritis dari perlawanannya tak mendapatkan ruang. Dari seluruh tim yang ditugaskan, warga tak pernah mendapatkan penjelasan secara utuh tentang dampak jahat yang diakibatkan panas bumi.
Discussion about this post