Stasiun Lapangan Geologi UGM dibangun di atas lahan seluas 4.100 m2 dengan luas bangunan 1.895 m2. Tiap lantai gedung berlantai tiga itu memiliki fungsi berbeda. Lantai I seluas 537 m2 adalah ruang terbuka, lantai II seluas 423 m2 adalah perpustakaan dan laboratorium, serta lantai III seluas 423 m2 adalah ruang belajar, dan dilengkapi bangunan penunjang seluas 512 m2.
Selain sarana dan prasarana untuk mendukung pendidikan ilmu teknik geologi, Stasiun Lapangan Geologi UGM itu juga dilengkapi dengan fasilitas mushola, toilet, aksesibilitas, lansekap, termasuk meubelair untuk mendukung kegiatan belajar mengajar.
“Bangunan gedung juga dilengkapi pembangkit listrik tenaga surya dengan memanfaatkan 20 solar panel on grid system cukup untuk penggunaan listrik di siang hari,” kata Kuswara.
Baca Juga: Iskandar Lubis, Perlu Analisa Produksi Padi di Tengah Ancaman Perubahan Iklim
Siapakah Soeroso Notohadiprawiro?
Dikutip dari laman Departemen Teknik Geologi UGM, rupanya Stasiun Lapangan Geologi Prof. R. Soeroso Notohadiprawiro itu bukanlah bangunan baru. Empat puluh tahun lalu, tepatnya tahun 1984, bangunan itu pertama kali didirikan untuk mengenang jasa-jasa Soeroso. Kampus lapangan ini dibangun dengan bantuan Pertamina yang kemudian digunakan untuk praktik atau kuliah lapangan.
Prof. R. Soeroso Notohadiprawiro adalah pendiri Jurusan Teknik Geologi UGM yang namanya diabadikan sebagai nama Stasiun Lapangan Geologi. Departemen Teknik Geologi didirikan pada Agustus 1959 yang menjadi bagian dari Fakultas Teknik UGM yang berupa gabungan dari Geodesi dan Geologi. Soeroso menjabat sebagai Ketua Bagian Geodesi-Geologi Teknik (sebelum dipisah) yang merangkap sebagai Sekretaris Fakultas Teknik UGM.
Dua tahun kemudian, mulai Oktober 1961, Geodesi-Geologi Teknik dipisah menjadi bagian Geologi Teknik yang dipimpin Soeroso. Dia sekaligus satu-satunya dosen tetap waktu saat itu. Perkuliahan dibantu pengajar dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Baca Juga: Korban Longsor di Kelok Bento Padang Ditemukan Selamat
Situasi nasional yang tak menentu akibat peristiwa G30S pada 1965 berdampak pula ketidakaktifan sebagian besar dosen dari ITB. Periode itu boleh dibilang menjadi periode bertahan untuk hidup. Jumlah dosen yang berkurang memunculkan pembentukan tenaga relawan mahasiswa tingkat akhir untuk memberikan kuliah, mengawasi praktikum, serta membimbing kuliah lapangan di Karangsambung dan Kulon Progo.
Tenaga relawan itu dipimpin Soeroso, Imam Wahyu Sumarinda dan Aryono Suwarno. Sedangkan mahasiswa tingkat akhir yang bergabung, yakni Wartono Rahardjo, Sukandarrumidi, Marno Datun, dan Kaderie kemudian menjadi dosen. Sementara pengajar dari ITB dan beberapa alumni masih dapat membantu mengajar hingga 1973. Bantuan tenaga pengajar dari ITB berangsur-angsur berakhir pada tahun 1975.
Baca Juga: Aktivitas Gempa Meningkat Sejak April, Status Gunung Ibu Menjadi Siaga
Tahun 1970, situasi nasional mulai membaik. Mulai banyak staf pengajar baru, kegiatan akademis mulai stabil. Tujuh tahun kemudian, pendiri Jurusan Teknik Geologi Prof. R. Soeroso Notohadiprawiro meninggal dunia dalam usia 73 Tahun.
Pada tahun 1980, keluar Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1980 mengenai perubahan pemakaian nama “Bagian” menjadi “Jurusan”. Bagian Teknik Geologi pun berubah menjadi Jurusan Teknik Geologi hingga sekarang. [WLC02]
Sumber: UGM, Kementerian PUPR
Discussion about this post