Dalam diskursus humanity, para narasumber yang hadir meliputi Suparlan dari Yayasan Sheep Indonesia, Raditya Jati dari BNPB dan M. Islah dari Walhi mengusung tema “Krisis Kemanusiaan dan Bencana Ekologis” yang menyoroti akumulasi krisis ekologis. Suparlan menyatakan bahwa krisis disebabkan ketidakadilan dan kegagalan sistem pengurusan alam yang telah mengakibatkan pranata kehidupan masyarakat hancur.
“Ditambah berbagai regulasi yang tidak berpihak saat ini sehingga menyebabkan bencana ekologis semakin meningkat,” kata Suparlan.
Baca Juga: XR Bunga Terung Desak Pemerintah Kaltim Serius Tangani Perubahan Iklim
Islah mengingatkan penghilangan ruang hidup dengan pembiaran kerusakan lingkungan hidup skala besar yang terakumulasi menjadi krisis merupakan kejahatan kemanusian (ekosida). Senada Raditya Jati selaku Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB yang mengatakan, semua yang bersifat memberi dampak pasti ada interfensi manusia. Ia menekankan pengurangan risiko bencana dengan model “ecosystem based” adalah penting.
“Gerakan pengurangan risiko bencana harus berpikir “ecosystem based”. Ini dapat menjadi model yang paling baik dengan membedakan aksi hulu, tengah dan hilir,” papar Raditya.
Para narasumber menegaskan, Indonesia perlu upaya serius untuk mendorong kebijakan pemerintahan yang berbasis lingkungan dan program penanggulangan bencana yang konkrit.
Baca Juga: Gempa Guncang Wilayah Bitung, Mamberamo Raya dan Laut Banda Maluku
Sementara dalam diskursus keadilan sosial ekologis, para narasumber merefleksikan bahwa saat ini solidaritas yang terbangun hanyalah pada sebuah kasus yang tujuannya untuk advokasi semata. Menurut para narasumber yang terdiri dari Uslaini dari Walhi, Dinda Nuur Annisaa Yura dari Solidaritas Perempuan, dan Anwar Ma’ruf Sastro dari KPRI, bahwa perlu membangun solidaritas rakyat dari imajinasi. Tidak hanya sebuah respon, tetapi didesain dari awal secara menyeluruh.
“Sebab solidaritas rakyat adalah sebuah solusi menuju Indonesia berkeadilan ekologis,” tukas mereka.
Hasil refleksi diskusi publik tersebut terangkai menjadi sebuah gagasan bersama untuk Indonesia masa depan yang lebih adil secara sosial-ekologis. Refleksi nilai-nilai ke-Pancasila-an terangkum menjadi butir-butir gagasan pemulihan Indonesia. Nilai demokrasi, humanity, solidarity, interfaith, dan keadilan sosial-ekologis sangat penting menjadi substansi kepemimpinan pemerintahan ke depan.
Baca Juga: 4 Situs Geopark Indonesia Masuk Jaringan Unesco Global Geopark
Sayangnya, hingga hari ini tidak ada satupun aktor politik partai yang mengusung gagasan perubahan mendasar bagi Indonesia. Walhi menyerukan, tahun politik 2024 harus direbut menjadi ruang dan kesempatan untuk mengkonsolidasikan dan menghimpun gagasan-gagasan rakyat dengan mendesak pemimpin negara mewujudkan cita-cita menuju keadilan sosial ekologis. Cita-cita tersebut tersusun melalui agenda penyelamatan lingkungan hidup, penyelamatan rakyat, dan upaya menuju keadilan intra dan intergenerasi sesuai cita-cita Pancasila. [WLC02]
Sumber: Walhi
Discussion about this post