Wanaloka.com – Kehutanan di Indonesia mengalami turbulensi yang telah berlangsung lama. Dari identifikasi yang dilakukan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Abubakar sejak 2018 ditengarai ada beberapa permasalahan kunci (key problems) penyebabnya. Antara lain terkait kebakaran hutan dan lahan, serta asap lintas batas negara, deforestasi, konflik tenurial, illegal logging, pengelolaan lahan gambut, perizinan, kebijakan akses kelola hutan, pengaturan dan pengelolaan wilayah dan masyarakat adat belum final, serta persoalan optimasi pemanfaatan hutan.
Atas permasalahan kunci tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah melakukan berbagai pendekatan. Mulai dari melaksanakan intervensi melalui regulasi, pengendalian dan pengawasan, penegakan hukum, peningkatan kapasitas, hingga pengembangan sistem inventarisasi dan pemantauan.
Siti lebih lanjut menjelaskan bahwa pendekatan-pendekatan penyelesaian permasalahan tersebut disusun dan diimplementasikan KLHK dengan berpedoman pada berbagai instrumen kebijakan. Baik dalam bentuk instrumen regulasi pemerintah maupun instrumen yang berlaku dalam skala global, seperti Sustainable Development Goals (SDGs), UN-CBD, Convention on Biodiversity, Protokol Nagoya, Paris Agreement, dan sebagainya.
Baca Juga: PLTP Gunung Salak Diduga Picu Gempa, Masyarakat Sipil Kirim Surat ke BMKG
Pendekatan-pendekatan itu diklaim telah menghasilkan indikator pembangunan sektor kehutanan yang lebih baik. Seperti target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sektor kehutanan yang salah satunya dengan ukuran pencapaian tingkat laju deforestasi hutan terendah dalam sejarah kehutanan Indonesia. Dalam konteks pemanfaatan hutan, ada transformasi dari single-licensed yang terutama berfokus pada pemanfaatan hasil hutan kayu menjadi skema Multi Usaha Kehutanan.
Indikator lainnya berupa ukuran pemegang hak akses pemanfaatan hutan tidak hanya bagi korporasi. Melainkan juga oleh masyarakat melalui skema Perhutanan Sosial. Indikator penting berikutnya dengan peningkatan pemanfaatan teknologi dan sistem yang lebih optimum di dalam perencanaan dan monitoring pengelolaan sumberdaya hutan.
“Demi menuju sebuah paradigma baru dan keseimbangan baru pengelolaan kehutanan Indonesia,” kata Siti dalam pidato sambutan berjudul “Turbulensi dan Paradigmatik Pembangunan Kehutanan Indonesia” saat acara Dies Natalis ke-60, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta pada 20 Oktober 2023.
Baca Juga: Jabar Selatan Rawan Gempa, Badan Geologi: Gempa Garut Akibat Penujaman Sesar
“Namun turbulensi masih terus ada dan berkembang. Juga teridentifikasi pada tahun 2023, berupa kondisi yang semakin kompleks dan menantang,” imbuh Siti.
Identifikasi tahun 2023 dan ke depan memberi gambaran beberapa permasalahan kunci tambahan. Seperti isu pengelolaan dan restorasi ekosistem mangrove, isu kehidupan satwa liar atau wildlife, penerapan nilai ekonomi karbon, dan bioprospecting, persoalan friksi kepentingan dalam tata guna (lahan) hutan terkait dengan tenurial, khususnya hutan-hutan di wilayah padat penduduk, kompetisi lahan untuk pangan dan biomassa, serta energi dan resources di kawasan konservasi.
“Turbulensi yang terjadi dalam pengelolaan sektor kehutanan harus dapat diatasi bersama, hingga mampu mewujudkan keseimbangan (balance) dan yang berkeadilan,” tegas Siti.
Baca Juga: KLHK ke Jerman, Keluhkan UU Anti Deforestasi Uni Eropa yang Mengganjal SVLK
Siti pun mengajak para pihak untuk merumuskan dan mewujudkan alokasi sumber daya hutan yang seimbang secara bersama. Tidak hanya memperhatikan kebijakan pemerintah semata, tetapi juga perlu dalam artikulasi dengan turut mempertimbangkan pasar.
“Namun pengalokasian sumber daya hutan pun tidak dapat hanya serta merta mengikuti pasar. Yang kami perlukan adalah keseimbangan dengan tujuan keadilan dan untuk sebesanya kemakmuran rakyat Indonesia,” kata Siti.
Kebijakan Belum Naungi Pengelolaan Hasil Hutan
Berdasarkan data KLHK, hutan Indonesia telah mengalami deforestasi sebesar 104 ribu hektare dalam periode 2021-2022. Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan terkait bagaimana pemanfaatan hasil hutan dan adakah aspek keberlanjutan yang diterapkan. Mengingat hutan merupakan salah satu penyumbang oksigen, habitat satwa liar, di sisi lain juga merupakan komoditas yang menjanjikan.
Baca Juga: Gempa Garut, BMKG: Gempa Dangkal Dipicu Aktivitas Lempeng Indo-Australia
Guru Besar Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan UGM, Prof. Tibertius Agus Prayitno menyebutkan terdapat dua parameter berbeda yang perlu diseimbangkan.
“Sebelum hutan dibuka, mungkin kita punya 170-180 hektare. Setelah dibuka tinggal 100 hektare. Jadi, turun banyak. Volume produksi hutan-hutan juga menurun. Kalau seperti ini, sustain parameters-nya perlu dipertanyakan. Bagaimana kita merawat hutan, tapi disesuaikan dengan kebutuhan industri. Setiap pengelolaan hutan, 60 persen harus berkaitan dengan pohonnya. Kalau ada kebijakan pengelolaan hutan yang isinya kurang dari 60 persen pohon, patut dipertanyakan,” papar Agus dalam Seminar Nasional bertajuk “Pengelolaan Hutan untuk Kelestarian Hutan” pada 19 Oktober 2023.
Discussion about this post