Pemulihan ekosistem gambut itu dilakukan melalui pendekatan 3R. Pertama, rewetting of drained peat, yakni pembasahan kembali gambut yang terdrainase melalui pembangunan infrastruktur pembasahan gambut seperti sekat kanal atau kanal blocking, canal back filling atau penimbunan kanal, dan sebagainya.
Kedua, revegetasi. Ketiga, revitalisasi sumber mata pencaharian masyarakat.
Restorasi gambut merupakan proses jangka panjang. Untuk restorasi hidrologinya sendiri, misalnya saat membangun infrastruktur membutuhkan waktu sampai 5 hingga 10 tahun agar stabil.
Baca Juga: Rehabilitasi Mangrove dengan Alat Penahan Ombak dari Limbah Plastik
“Gambut yang terdegradasi karena gangguan hidrologis distabilkan dulu seharusnya, baru direvegetasi. Tahap revegetasi dengan spesies endemik juga tergantung, ada yang fast dan slow growing species,” papar Alue.
Tidak hanya tahap pemulihan hidrologi dan revegetasi saja, revitalisasi sumber mata pencaharian masyarakat juga butuh kestabilan. Kegiatannya berbasis tiga hal. Pertama, berbasis air, misalnya kegiatan perikanan, dan keramba di lahan gambut dengan ikan endemik.
Kedua, berbasis lahan, artinya lahan-lahan yang selalu basah. Misalnya paludi culture species, yakni tanaman yang menyukai air. Ketiga, environmental services seperti ekowisata, penyerapan karbon, dan sebagainya.
Baca Juga: Proyek Tambak Lorok Semarang Diklaim Bisa Kendalikan Banjir Rob 30 Tahun
Selain itu, pemulihan atau restorasi gambut juga membutuhkan dukungan pentahelix dan kolaboratif. Jadi, ada kerja sama dan kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, scientific communities dari perguruan tinggi dan periset, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat hingga dunia usaha.
Oleh karena itu, prinsip restorasi gambut berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), sehingga tidak boleh parsial. Orkestrasinya KHG dibuat perencanaan. Alue menyebutkan KLHK sudah mempunyai rencana jangka Panjang, yaitu Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) secara nasional.
“Upaya restorasi juga termasuk mencegah supaya tidak terjadi degradasi terus menerus, tidak terjadi kebakaran, tidak terjadi subsidence, tidak terjadi compaction, kemudian akselerasi dekomposisi gambut yang semuanya bisa merilis karbondioksida,” papar Alue.
Baca Juga: Bambang Hendroyono, Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Harus Melindungi Hak Masyarakat Lokal
Patahkan Mitos
Upaya restorasi tersebut, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Sigit Reliantoro menjelaskan sekaligus membuktikan Indonesia telah berhasil mematahkan mitos bahwa lahan gambut yang terdegradasi tidak dapat dipulihkan.
“Nyatanya, dalam kurun waktu 10 tahun, keberhasilan pemulihan ekosistem gambut terutama secara hidrologis mencapai kurang lebih 5,5 juta hektare,” kata Sigit.
Selama 10 tahun terakhir, Pemerintah mendeklarasikan untuk tidak ada lagi kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia. Strategi yang diprioritaskan adalah pencegahan sekaligus pemulihan ekosistem gambut yang rusak. Tindakan hukum yang tegas pun diklaim telah diterapkan terhadap individu maupun korporasi yang bertanggung jawab menyebabkan kebakaran.
Baca Juga: Perjuangan Masyarakat Adat Awyu dan Moi Selamatkan Hutan Papua, DPR Sebut Miskomunikasi?
Sigit melaporkan sejumlah kegiatan telah dan akan dilaksanakan KLHK, mulai dari inventarisasi karakteristik dan penetapan fungsi ekosistem gambut. Kemudian, pembinaan teknis dan penyusunan, serta pelaksanaan rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut.
Selain itu, ada kegiatan pemulihan fungsi ekosistem gambut melalui program Desa Mandiri Peduli Gambut.
“Kami juga memasukkan program peningkatan kinerja usaha dan atau kegiatan yang berada di ekosistem gambut ke dalam penilaian PROPER atau program penilaian peningkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup,” kata dia. [WLC02]
Sumber: PPID KLHK
Discussion about this post