Cerminan kekhawatiran ini dapat dilihat dari angka rekognisi pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat dan lokal atas wilayah kelolanya. Dalam catatan Walhi, hingga Agustus 2025, seluas 848.274 hektar wilayah kelola rakyat masih belum mendapatkan Surat Keputusan (SK) resmi dari pemerintah.
Rinciannya, 55.527 menunggu jadwal verifikasi teknis (vertek), masuk pada seleksi administrasi, telah melakukan vertek dan menunggu terbitnya SK. Sedangkan lainya masuk pada tahap konsolidasi data, penyiapan berkas dan ada yang sudah diajukan dan belum diajukan karena alasan administratif atau politis mencapai 792.747 hektare.
Untuk memastikan pendekatan ini tidak sekadar komitmen semu, Walhi menantang Kementerian Kehutanan untuk terlebih dahulu menyelesaikan proses rekognisi dan legalitas wilayah kelola rakyat ini sebelum COP 30 berlangsung.
Baca juga: Cuaca Panas Tiap Tahun Makin Ekstrem, Penggunaan AC Justru Meningkatkan Udara Panas
Terkait komitmen perlindungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, Walhi memandang pemerintah dalam menunjukkan komitmen iklimnya harus melakukan koreksi menyeluruh terhadap 248 izin pertambangan yang beroperasi di 43 pulau kecil di Indonesia. Kegagalan untuk mengkoreksi kebijakan perizinan ini akan membuat target pemulihan mangrove seluas 2 juta hektare pada 2030 rentan untuk gagal.
Kelima, pendanaan iklim. Dalam dokumen S-NDC, tidak ada langkah progresif pemerintah untuk membangun model pendanaan iklim yang adil dan dapat diakses langsung oleh rakyat, baik untuk aksi adaptasi dan mitigasi, maupun sebagai biaya reparasi.
Mekanisme pendanaan iklim dalam S-NDC yang masih dikelola Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) masih sangat terpusat dan birokratis, sehingga seringkali gagal menjawab kebutuhan rakyat. Bahkan BPDLH pernah memberikan dana iklim kepada Medco Group yang membangun kebun energi untuk mendukung peningkatan energi baru dan terbarukan (EBT). Padahal kebun energi tersebut dibangun di atas perampasan wilayah adat suku Marind sekaligus merusak hutan adat mereka.
Baca juga: Solar Dicampur Biodiesel 40 Persen Tahun 2026, Bensin Dicampur Etanol 10 Persen Tahun 2027
Keenam, pemerintah Indonesia dalam dokumen S-NDC nya masih mengandalkan Carbon Offset Mechanism untuk sektor kehutanan dan penggunaan lahan, dan Emissions Trading System (ETS) untuk sektor energi dan industri besar. Alih-alih mengurangi emisi, justru mekanisme bisnis iklim ini justru tidak lebih dari pemberian izin yang akan mengakselerasi skema-skema green washing dan land banking.
Ketujuh, Indonesia mulai memasukkan Harvested Wood Products (HWP) sebagai bagian dari penghitungan serapan karbon, sesuai dengan panduan Modalities, Procedures, and Guidelines (MPGs) dalam pelaporan transparansi UNFCCC.
Walhi memberikan catatan kritis terhadap model ini. HWP hanya akan menjadi alat untuk terus mendorong bisnis logging atas nama mitigasi iklim yang akhirnya akan terus mengabaikan dimensi sosial dan ekologis. HWP hanya melihat kayu sebagai “penyimpan karbon”, mengabaikan fungsi sosial-ekologis hutan sebagai tempat hidup masyarakat adat, keanekaragaman hayati, dan sistem air dan pangan.
Baca juga: Penting Tanggung Jawab Industri dan Pemerintah atas Kandungan Mikroplastik dalam Air Hujan
Hal berbahaya lainnya adalah Ilusi bahwa penebangan pohon bisa “netral karbon”, padahal pada kenyataannya sebagian besar karbon cepat dilepaskan kembali. Banyak produk kayu (terutama kertas, karton, dan bahan kemasan) berumur sangat pendek, hanya beberapa bulan hingga tahun. Setelah itu, produk dibakar atau membusuk di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), melepaskan karbon ke atmosfer.
“Substansi S-NDC ini belum mampu menjawab persoalan krisis iklim secara struktural dan sistemik, sehingga masih sangat jauh dari tuntutan keadilan iklim,” tegas Even.
Prinsip keadilan iklim belum tercermin dalam proses maupun substansi SNDC. Tak mengherankan, sebab dokumen S-NDC disusun secara tertutup, tidak memastikan partisipasi penuh rakyat. Sudah saatnya kembali ke rakyat, untuk merumuskan kembali aksi adaptasi dan mitigasi iklim berbasis keadilan, sehingga Indonesia bukan hanya dapat berkontribusi, tetapi memimpin aksi iklim secara global. [WLC02]
Sumber: Walhi
 
			





 
                                    
Discussion about this post