Minggu, 26 Oktober 2025
wanaloka.com
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
wanaloka.com
No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

Yang Bertahan dan Hilang dari Kemandirian Pangan Lokal di Gunungkidul

Hidup di tanah gersang ‘memaksa’ petani Gunungkidul beradaptasi dengan pertanian tadah hujan, secara turun temurun. Termasuk menyimpan persediaan pangan lokal hasil panen untuk kebutuhan keluarga hingga musim panen berikutnya. Kini, generasi muda enggan bertani. Stok pangan lebih banyak dijual demi uang.

Selasa, 14 Oktober 2025
A A
Anak-anak usia sekolah dasar tukar cerita kisah menemukan tanaman umbi-umbian di tegalan di Dusun Wintaos, Desa Girimulyo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu, 27 September 2025. Pito Agustin Rudiana/Wanaloka.com.

Anak-anak usia sekolah dasar tukar cerita kisah menemukan tanaman umbi-umbian di tegalan di Dusun Wintaos, Desa Girimulyo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu, 27 September 2025. Pito Agustin Rudiana/Wanaloka.com.

Share on FacebookShare on Twitter

Sementara padi yang ditanam zaman dulu adalah varietas Menurun, Mayangan, Pakisan, Putu, Genjah Lasep, juga Sento. Varietas-varietas ini bisa ditanam di lahan kering dengan umur tanam enam bulan.

Kemudian jagung lokal masa itu adalah jagung putih yang biasa disebut jagung tengahan. Meskipun tidak dipupuk, bisa tetap tumbuh di atas batu sekalipun. Butirannya kecil-kecil, berwarna putih, dan tak rapat, tetapi kualitasnya baik. Biasanya diolah menjadi nasi jagung atau pun dijadikan grontol yang dibumbui parutan kelapa.

Menjelang musim penghujan menjadi penanda waktu mulai tanam beragam tanaman itu. Selain dimulai dengan ritual suranan, sebelum benih ditabur juga ada proses penyiapan lahan yang disebut lalahan selama September-Oktober. Lahan diberi kompos dari daun-daun kering, pupuk kandang, juga ditaburi awu (abu sisa pembakaran kayu di dapur) yang kemudian dikenal dengan istilah ngawu-awu, juga dicangkul agar ada pertukaran tanah atas dan bawah.

Jika hujan pertama turun diprediksi awal November, maka pertengahan November mulai banyak benih yang ditabur. Benih padi menjadi benih pertama yang ditanam, tetapi sebelum hujan turun. Penaburan benih langsung dilakukan di tegalan, tanpa melalui proses penyemaian seperti di persawahan.

Semula menggunakan teknik langsung sebar di tegalan. Kini dengan membuat tonjo atau lubang. Satu lubang bisa diisi 2-3 benih, sekaligus menghemat benih ketimbang disebar.

“Setelah hujan pertama, parinya sudah thukul (tumbuh),” kata Pak Pur.

Hujan turun disusul dengan menebar benih jagung dan menanam singkong.

“Satu kotakan itu diisi berderet jagung, singkong, jagung, singkong,” imbuh Mbok Pur yang mempunyai empat petak tegalan.

Lahan yang datar atau lenah ditanami padi. Yang tak rata ditanami palawijo, termasuk jagung dan kacang. Kemudian yang di lahan miring ditanami umbi-umbian, seperti uwi, gembili, kimpul. Tiap-tiap tanaman punya musim tanam berbeda. Padi dan jagung 3 bulan, singkong 6 bulan.

Akhir Januari, biasanya mulai panen padi. Sementara panen jagung pada pertengahan Februari. Usai panen padi dan jagung, dilanjutkan dengan menanam kacang yang disebut dengan istilah marengan. Tak terkecuali jenis legum lainnya, seperti kedelai, kacang hijau, kacang gude, koro, benguk.

Kacang-kacangan ada yang dipanen tiga bulan, yakni bulan Mei. Ada juga yang dipanen usai empat bulan, yakni Juni, seperti koro, benguk. Dilanjutkan Juli dengan memanen umbi-umbian hingga Agustus.

Usai singkong dipanen, memasuki proses nggaplek atau menjemur singkong yang sudah dikupas. Biasanya dilakukan Juli-Agustus dan terakhir September karena masih ada panas matahari.

Waktu mulai menebar benih itu pun ditentukan dengan perhitungan sistem kalender musim tradisional Jawa, namanya pranata mangsa. Menentukan perhitungan musim berdasarkan perputaran bulan, arah angin, cuaca, juga pengamatan alam. Tradisi itu dilakukan karena petani Gunungkidul sangat bergantung pada musim penghujan.

“Pakai ilmu titen (tanda),” kata Pak Pur.

Namun saat ada teknologi prakiraan cuaca dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang juga cukup gencar disosialisasikan lewat Sekolah Lapang Iklim, termasuk di Gunungkidul, Pak Pur memilih untuk bisa mengadaptasi keduanya.

Baca juga: Menteri Hanif, Pemulihan Sungai Cipinang Harus Selesai Satu Bulan

Semisal, BMKG menyampaikan musim penghujan akan mundur sebulan lagi, sementara berdasarkan pranata mangsa, sudah tiba saatnya menabur benih. Petani mensikapi dengan ngudhik, yaitu menabur sedikit benih di lahan.

“Saya nggak kenceng banget ngugemi (meyakini) pranata mangsa, tapi ya tidak percaya BMKG seratus persen. Jadi jalan bareng, dua-duanya dilestarikan,” ucap Pak Pur sembari mengacungkan jempol tangan.

Selama proses pertumbuhan tanaman pangan pokok itu, petani tak lepas dari doa. Baik doa saat menabur benih, saat padi mulai berisi, padi mulai menunduk, hingga saat panen. Inti doa adalah memohon kepada Tuhan agar diberi kelancaran sedari menanam hingga memanen.

Saat padi mulai berisi, petani punya ritual khusus. Mereka mengunyah dlingo dan bawang putih, kemudian disemburkan pada bulir-bulir padi itu.

“Doa sembur itu untuk mengurangi walang sangit, wereng, dan lain-lain yang akan mengganggu tanaman,” jelas dia.

Usai panen, warga menyimpan hasilnya di lumbung pangan yang disebut pesucen. Istilah “pesucen” berasal dari kata “suci” yang merupakan tempat orang berdoa. Di sampingnya diletakkan aneka hasil panen itu. Padi gabah diikat dan ditumpuk hingga menyundul langit-langit rumah. Biji-bijian seperti kacang, jewawut dimasukkan dalam kotak kayu yang disebut bledhek, lalu ditutup biar tak dimakan tikus. Jagung-jagung diikat dan digantung di langit-langit dapur yang disebut pogo. Asap kayu dari bebakaran tungku dapur membuat jagung menjadi awet, tak dimakan hama bubuk.

Dan hasil panen pun tidak dijual, melainkan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga saja atau subsisten. Menjadi stok pangan warga hingga musim panen selanjutnya. Juga bisa untuk sesaji saat rasulan, sekaligus menjadi stok benih untuk ditanam saat musim tanam tiba.

“Dulu, pangan tidak beli, benih tidak beli,” kata Mbok Pur.

Lumbung pangan jadi uang

Nggaplek atau aktivitas menjemur singkong hasil panen petani yang dijemur di depan rumah-rumah warga di Dusun Wintaos, Desa Girimulyo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin, 29 September 2025. Pito Agustin Rudiana/Wanaloka.com.
Nggaplek atau aktivitas menjemur singkong hasil panen petani yang dijemur di depan rumah-rumah warga di Dusun Wintaos, Desa Girimulyo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin, 29 September 2025. Pito Agustin Rudiana/Wanaloka.com.

Menanami lahan secara polikultur, yaitu satu petak lahan berisi macam-macam tanaman atau tumpangsari menjadi pilihan yang masuk akal bagi petani Gunungkidul sejak dulu. Lantaran pengairannya hanya mengandalkan air hujan yang turun satu musim satu kali dalam setahun. Tanaman yang hidup pun hanyalah yang bisa beradaptasi dengan lahan kering dan sedikit air.

“Ora ana sawah, ora ana kali. Tumpangsari niku maksude kabeh men panen. Supaya le panen okeh (tidak ada sawah dan sungai. Tumpang sari agar yang ditanam panen semua dan banyak),” jelas Pak Pur.

Sementara kurun waktu usai panen hingga panen lagi menjadi masa rentan bagi petani apabila tak punya stok pangan cukup. Kemarau panjang bisa memicu paceklik atau gagal panen hingga kelaparan. Tak hanya mengancam stok pangan manusia, tetapi juga beragam hama, terutama tikus. Paceklik membuat tikus kian rakus menyerbu tanaman pangan petani.

Seperti yang diingat sesepuh dan petani Dusun Sureng, Desa Purwodadi, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Bambang Sulur, 73 tahun. Tahun 1963, Gunungkidul dilanda bencana kelaparan yang dikenal dengan zaman gaber. Kemarau panjang dan hama tikus menyerang. Pola pertanian tumpang sari yang selama itu diandalkan untuk menopang pangan sehari-hari, tak berdaya. Masyarakat tak lagi punya stok pangan di pesucennya. Sementara tanaman pangan di tegalan habis diobrak-abrik tikus.

Sisa bahan pangan yang ada dijadikan pengganjal perut. Mulai dari bekatul atau sisa gilingan padi, ampas ketela yang dikeringkan alias gaber, hingga umbi-umbian beracun yang seharusnya butuh pengolahan tertentu untuk menghilangkan racunnya agar bisa dimakan. Tak terkecuali, memakan tikus itu sendiri. Penyakit busung lapar, beri-beri hingga kematian pun mengintai karena kelaparan dan kurang gizi.

“Kalau tanam padi, jagung, singkong, kami kan berupaya tiga-tiganya panen. Kalau padi gagal, eh mbokmenawa (siapa tahu), jagung sama ketela (bisa) panen. Padi nggak, jagung nggak, kami punya harapan, ketela. Jadi punya alternatif. Celakanya kalau tiga-tiganya nggak panen, gagal, ya seperti zaman gaber,” papar Bambang.

Sekitar 1970-1980, Pemerintah Orde Baru membuat kebijakan revolusi hijau dengan menerapkan program swasembada beras. Produksi tanaman padi di berbagai daerah digenjot besar-besaran. Menempatkan beras menjadi makanan pokok utama sehingga mengabaikan keanekaragaman pangan lokal yang tumbuh lama di tiap-tiap daerah. Tak terkecuali tiwul, makanan pokok masyarakat Gunungkidul pun pelan-pelan tergeser dengan nasi.

Bermula dari pembagian benih varietas padi unggul dengan umur tanam lebih pendek, yakni tiga bulan, seperti Segreng Handayani yang merupakan beras merah, juga Inpari, Ciherang, juga IR-64. Serta menyediakan pupuk kimia untuk memperbanyak produksinya, seperti urea, ponska, juga NPK.

Meskipun bukan daerah sentra penghasil beras, toh pertanian Gunungkidul terdampak pula kebijakan itu. Semula, baik Pur atau pun Bambang tak sepenuhnya menyalahkan awal-awal kebijakan zaman Presiden Soeharto itu. Kebijakan itu dianggap upaya untuk mengentaskan mereka dari kelaparan, busung lapar, dengan meningkatkan hasil pertanian padi.

Sejak varietas baru ditanam, serbuan hama wereng mendera. Pasokan obat hama kimia datang, lalu hama wereng mati. Namun tiap kali petani menanam, hama itu datang lagi. Dibasmi pestisida, wereng datang lagi, begitu seterusnya. Ia ingat, wereng menghabiskan seluruh tanaman padi yang mulai berbuah pada tahun 1983.

Kondisi itu membuat petani pun terpecah, antara yang bertahan dengan padi varietas lama yang berumur enam bulan dengan yang tiga bulan. Namun yang bertahan dengan padi varietas lama pun goyah. Lantaran saat padi tetangga yang berumur tiga bulan sudah lebih dulu dipanen, hama wereng gantian menghabiskan padi-padi varietas lama yang belum memasuki masa panen.

Belum lagi bujuk rayu petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang datang ke desa-desa. Petani desa yang semula bertani dengan naluri, berupaya menyesuaikan diri menerima sosialisasi program pesanan pemerintah. PPL minta kebiasaan petani menanam benih padi dengan cara disebar diganti dengan cara larikan atau berderet seperti padi sawah. Alasannya biar hasil panen lebih banyak dan bagus.

Tak ada pilihan lain, mau tak mau mereka beralih pada program swasembada beras. Memperbanyak pupuk dan menghalau wereng dengan pestisida. Varietas padi lama perlahan ditinggalkan, dan kini punah. Lantaran tak ada benih padi lokal lama yang bisa bertahan dari serangan wereng.

“Yang enam bulan itu semakin dikurangi mergo selak dioyak wereng (karena keburu dikejar wereng),” jelas Pak Pur.

Dampak lainnya, lahan tegalan yang gersang kian mengerak alias mengeras akibat pupuk kimia. Berdampak pada umbi-umbian yang bertumbuh di dalamnya.

“Telone ora patiyo enak, rada pait (singkongnya pahit),” ungkap Mbok Pur.

Penyeragaman pangan pokok lewat beras itu ‘memaksa’ petani Gunungkidul beradaptasi dengan kebijakan baru sampai saat ini. Tak terkecuali petani di Kecamatan Panggang dan Tepus yang berada di kawasan langganan kekeringan.

Hingga kini, petani mengutamakan bertanam padi di tegalan. Varietas yang dipilih adalah Segreng Handayani karena relatif adaptif hidup di lahan kering maupun subur. Segreng tak terlalu membutuhkan banyak pupuk untuk bisa berbuah. Namun jika pupuk kandang diperbanyak, maka lebih cepat berbuah dan hasil panen lebih baik.

Berbeda dengan Inpari, IR-64 atau pun Ciherang yang membutuhkan banyak air sehingga lebih cocok ditanam di lahan sawah. Pilihan yang tak mungkin bagi Pur, Bambang dan lainnya.

Sementara sistem tanamnya tetap dipertahankan, yakni tumpangsari. Selain padi, juga tetap menanam jagung, singkong, juga lainnya. Salah satu bedanya, banyak petani yang menanam dengan cara larikan agar pertumbuhan padi rapat. Memudahkan petani saat matun atau menyiangi gulma.

Untuk menjaga agar lahannya subur, Pur memilih untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia. Sebab belum sepenuhnya bisa meninggalkan. Jika biasanya menggunakan 3 kuintal pupuk kimia, kini berkurang menjadi 1,5 kuintal. Selebihnya memperbanyak pupuk kandang dari kotoran ternak kambingnya.

Sementara ritual menjelang bertanam, proses bertanam hingga memanen juga masih dilestarikan. Meskipun ada pula kebiasaan yang mulai ditinggalkan, yakni tak lagi menjadikan tiwul menjadi makanan pokok utama.

“Dulu orang sini lebih baik panen gaplek banyak ketimbang panen padi. Akhirnya antara beras dan singkong dirasa lebih enak beras. Jadinya padi sik diokehi (diperbanyak),” papar Mbok Pur.

Meskipun panen padi Segreng pun, kini tak banyak warga yang mengonsumsinya sehari-hari. Warga lebih memilih beras putih. Usai panen, tak sedikit yang menukarnya dengan beras putih di warung setempat atau menjualnya.

“Nasi merah itu agak kasar. Kalau sudah dingin, atos (keras). Kalau masih anget enak. Masak pagi, ditaruh di magic jar, makan siangnya sudah kaku. Ditanak lagi ya bisa. Tapi kebanyakan merasa nasi merah kurang enak,” aku Darmanto, 44 tahun.

Usai panen, petani Wintaos itu biasa membawa satu sak gabah Segreng seberat 25 kilogram ke penggilingan di Pasar Imogiri di Kabupaten Bantul. Sekaligus untuk ditukar dengan beras putih. Apalagi harga gabah beras merah lebih mahal ketimbang gabah beras putih.

“Dapat 25 kilo beras putih, masih ketambahan uang 20 ribu atau 18 ribu rupiah,” ucap Darmanto senang.

Tak terkecuali Pur. Ia menukar beras merahnya dengan beras putih dari Bantul ke warung di dusunnya untuk konsumsi sehari-hari.

“Mangan tiwul wes ora tahu! Pokoke kulo niki pun mengikuti modern (makan tiwul sudah tak pernah, sudah mengikuti kebiasaan modern),” seru Pur.

Begitu pun dengan jagung hibrida yang dipanen untuk dijual demi kebutuhan pakan ternak. Harga jagung yang dipanen pada 2025 lalu Rp52 ribu per kilo dan tahun 2024 bisa mencapai Rp58 ribu-Rp60 ribu. Menggeser jagung putih yang biasa dimakan menjadi nasi jagung, sehingga punah karena petani enggan menanamnya. Jagung putih dianggap tak menarik secara ekonomi.

Baca juga: Memperingati Hari Pangan Sedunia 2025, KSPL Gelar Festival Jejak Pangan Lestari

“Bogang-bogang (butir jagungnya tak penuh), buahnya sedikit. Nek nandur, wes bobote ora ono, cilik-cilik, meskipun panen banyak (kalau ditanam, bobotnya tidak seberapa meskipun panen banyak),” kata Mbok Pur.

Sedangkan tiap kali akan menanam jagung hibrida, Mbok Pur harus membeli benih. Sebab benih jagung hibrida hasil panen kurang memuaskan kalau ditanam kembali. Sementara harga benih mencapai Rp75 ribu-Rp80 ribu per kilogram.

“Kebanyakan sekarang beli. Serba tergantung,” keluh dia.

Dampak penjualan hasil panen pangan pokok itu membuat kian sedikit petani yang mempunyai pesucen di rumahnya. Kalau pun ada, kebanyakan tinggal berisi beras dan tepung gaplek yang disimpan dalam karung. Isi pesucen di rumah Mbok Pur pun tak sepenuh puluhan tahun lalu.

Padahal saat itu, meskipun hidup di pegunungan dengan akses terbatas, Mbok Pur tetap bersyukur karena belum banyak kebutuhan dan keinginan. Saat musim rendheng atau penghujan tiba, melihat stok gabah, jagung, growol atau ketela yang difermentasi memenuhi lumbung, membuat hati ayem. Sayuran tinggal memetik di halaman. Ditambah garam dan satu kaleng minyak kelapa untuk penerangan.

“Itu sudah cukup untuk satu tahun hingga panen lagi,” ungkap dia.

Kini mereka memilih langsung membawa hasil panen ke warung atau ke pasar untuk ditukar dengan beras putih atau pun uang.

“Saiki (sekarang) semakin modern. Wong saiki kan oyak-oyakane gur duit to (orang sekarang yang dicari hanya uang kan),” kata Mbok Pur.

Ibarat orang pegunungan dengan perkotaan, orang yang hidup di Kota Yogyakarta maupun Gunungkidul, zaman sekarang sama saja. Sama-sama naik motor, mobil, punya laptop, handphone, dan kemewahan lainnya. Bersambung 

Pito Agustin Rudiana

Liputan ini bagian dari “Journalist Fellowship and Mentorship Program for Sustainable Food System 2025″ yang didukung Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) bekerja sama dengan AJI Jakarta.

Terkait

Page 2 of 2
Prev12
Tags: Daerah Istimewa YogyakartaGaplekGunungkidulkearifan lokalpangan lokalPegunungan SewuSekolah Pagesangan

Editor

Next Post
Beragam benih biji-bijian legum yang ditanam petani yang bisa tumbuh dan berbuah di tegalan di Dusun Wintaos, Desa Girimulyo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin, 29 September 2025. Pito Agustin Rudiana/Wanaloka.com.

Ikhtiar Petani Gunungkidul Menjaga Pangan Lokal yang Terancam Ditinggalkan

Discussion about this post

TERKINI

  • Kebakaran lahan gambut di palangkaraya, Kalimantan Tengah. Foto Aulia Erlangga/CIFOR.Mitigasi Kebakaran Lahan Gambut Lewat Pendekatan Ekohidrologi
    In IPTEK
    Minggu, 26 Oktober 2025
  • TPST Kranon di Kota Yogyakarta. Foto Dok. Portal Pemkot Yogyakarta.Walhi Yogyakarta Desak DIY Tolak Proyek PSEL yang Meningkatkan Degradasi Lingkungan di Piyungan
    In Lingkungan
    Minggu, 26 Oktober 2025
  • Air conditioner yang dipasang di rumah-rumah. Foto terimakasih0/pixabay.com.Cuaca Panas Tiap Tahun Makin Ekstrem, Penggunaan AC Justru Meningkatkan Udara Panas
    In IPTEK
    Sabtu, 25 Oktober 2025
  • Biodiesel 40 persen (E40). Foto Kementerian ESDM.Solar Dicampur Biodiesel 40 Persen Tahun 2026, Bensin Dicampur Etanol 10 Persen Tahun 2027
    In News
    Sabtu, 25 Oktober 2025
  • Potret pencemaran plastik di salah satu sungai di Indonesia. Foto dok. Tim Ekspedisi Sungai Nusantara.Penting Tanggung Jawab Industri dan Pemerintah atas Kandungan Mikroplastik dalam Air Hujan
    In News
    Jumat, 24 Oktober 2025
wanaloka.com

©2025 Wanaloka Media

  • Tentang
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

©2025 Wanaloka Media