“Harga SDA di pasar tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Sering menimbulkan undervaluation karena tidak separuhnya eksogen dan tidak sepenuhnya ditransaksikan di pasar,” ujar dia.
Karena itu, penting untuk memahami biaya yang harus dibayar oleh generasi yang akan datang akibat kerusakan SDA dan lingkungan (transitional gain trap).
Baca juga: Resolusi Aliansi di NTT Desak Pengesahan UU Masyarakat Adat dan Revisi Total UU Kehutanan
Sementara Dekan FEM IPB University, Prof. Irfan Syauqi Beik menyampaikan bahwa problem tata kelola SDA di Indonesia sangat kompleks. Ia menyoroti banyaknya perizinan usaha ekstraktif yang tidak diatur dengan baik sehingga berujung pada kerusakan lingkungan dan konflik.
“Sering kali program pembangunan mengabaikan kearifan lokal dan menyebabkan kesalahan yang berulang,” kata dia.
Pemerintah diharapkan dapat memperkuat integrasi kebijakan, memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan, dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya konservasi sumber daya alam demi tercapainya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Narasumber lain dalam Seminar Nasional Iatrogenic Tata Kelola SDA dan Pembangunan Wilayah ini adalah Akademisi Universitas Mulawarman Haris Retno Susmiyati, Kepala Divisi Advokasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha, dan Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Viky Arthianda. [WLC02]
Sumber: IPB University
Discussion about this post