Wanaloka.com – Juli seharusnya puncak musim kemarau. Namun curah hujan tinggi masih terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Alih-alih memasuki musim kering, sejumlah daerah justru dilanda banjir tidak terkecuali Jabodetabek dan Mataram di NTB. Pertanda ancaman krisis iklim bukan lagi menjadi isapan jempol.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat dinamika atmosfer yang tak biasa, seperti lemahnya monsun Australia, suhu muka laut yang tetap hangat, serta aktifnya gangguan atmosfer tropis seperti Madden-Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin, dan Rossby, telah memicu pola cuaca yang tidak stabil. Menyebabkan hujan deras di periode yang semestinya kering.
Greenpeace Indonesia menegaskan kondisi ini bukan sekadar anomali musiman. Melainkan merupakan konsekuensi langsung dari krisis iklim yang selama ini diabaikan pengambil kebijakan.
Baca juga: Kusta Bukan Penyakit Kutukan, Kusta Bisa Disembuhkan
Pendidihan global yang didorong emisi gas rumah kaca – yang sebagian besar bersumber dari energi fosil, deforestasi, dan industri ekstraktif – telah menyebabkan gangguan sistemik pada iklim dan memperburuk risiko bencana alam di seluruh wilayah Indonesia.
Saat masyarakat dihadapkan pada hujan ekstrem saat musim kemarau, alarm krisis iklim seharusnya sudah terdengar sangat jelas.
“Kita tidak bisa lagi menormalkan cuaca ekstrem dan musim yang kacau sebagai hal biasa. Fenomena hujan deras periode Juli adalah peringatan serius bahwa krisis iklim sudah mengubah wajah musim di Indonesia. Pemerintah harus bertindak cepat dan tegas untuk mengurangi emisi dan melindungi rakyat dari dampak krisis iklim yang makin parah,” tegas Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu.
Baca juga: Konferensi Internasional Jadi Upaya Geopark Kaldera Toba Raih Kembali Green Card UNESCO
Hentikan ekspansi energi fosil
Greenpeace menyerukan Pemerintah Indonesia untuk segera memperkuat kebijakan mitigasi dan adaptasi iklim yang konkret dan berkeadilan. Krisis iklim harus diintegrasikan dalam seluruh proses perencanaan pembangunan, termasuk dalam sektor energi, tata ruang, dan pengelolaan sumber daya alam.
Pemerintah juga perlu menghentikan ekspansi energi fosil dan segera beralih ke energi bersih terbarukan yang aman dan berkelanjutan. Mengingat hingga 2024, Indonesia mencatat rekor produksi batu bara tertinggi dalam sejarah, yakni 836 juta ton. Jumlah itu melampaui target awal 710 juta ton dan peningkatan 7 persen dari tahun sebelumnya (775 juta ton).
Discussion about this post