Baca Juga: Yang Unik dari Bencana Palu 2018 , Gempa Bumi Berpusat di Darat yang Memicu Tsunami
Dampak bagi masyarakat dan lingkungan
Proyek Pulau Rempang membawa mimpi buruk bagi warga. Masih teringat dalam memori warga Rempang, Rusiana,33 tahun yang melihat neneknya dipukul aparat hingga mengalami patah tulang tangan pada 18 September 2024 lalu. Padahal neneknya hanya berniat melerai, tapi preman PT MEG berbadan besar dan berotot malah menjotos neneknya.
“Saat itu, kami, enam perempuan menemui PT MEG yang datang lagi ke kampung kami. Kalau yang menemui lelaki dikhawatirkan mudah tersulut emosi. Tapi pihak PT MEG malah berbahasa kasar dan membentak kami yang saat itu hendak merekam. Mereka bilang, jangan merekam, anjing. Padahal kami sudah sopan bertanya. Di situ orang MEG membawa pisau dan ada polisi., dan kami melapor pada polisi yang ada di situ. Tapi orang PT MEG bilang kalau mereka hendak bercocok tanam. Kan tidak masuk akal. Polisi di situ diam saja, padahal kami sudah melapor. Coba misalnya yang membawa pisau itu warga dan memang untuk bercocok tanam, pasti kami sudah dikriminalisasi,” tutur Rusiana.
Cerita serupa juga disampaikan Sukri, 41 tahun. Warga Rempang itu juga datang untuk melerai pertengkaran, tetapi malah mendapat pukulan dari preman. Ia juga melihat langsung ibu-ibu dan nenek-nenek dipukul para preman berbadan lebih besar.
Baca Juga: Widiyatno, Perlindungan Spesies Asli dan Keragaman Genetik Hutan Tropis Lewat Enrichment Planting
“Kami warga Rempang itu rindu hidup damai dan tentram, tanpa ada ancaman sama sekali, dan tidak saling berkelahi. Kami di Rempang ini hidup dari nelayan dan Bertani. Kalau ada konflik, kami tidak tenang dalam bekerja. Setiap bekerja, kami selalu takut kalau sesuatu terjadi. Polisi juga sebagai pihak yang seharusnya bisa melindungi warganya, justru mendukung perusahaan. Padahal intimidasi dari perusahaan kepada warga tidak hanya sekali-dua kali,” tutur Sukri.
Trauma kolektif di Pulau Rempang pun masih dirasakan anak-anak. Kemunculan banyak pos keamanan di sana menjadikan anak-anak merasa risih.
Ketika membahas transisi energi, pemerintah seringkali hanya menggantikan batu bara dengan sumber energi lainnya. Padahal ada yang namanya prinsip berkeadilan. Ketika menciptakan suatu pembangunan, pemerintah menggunakan narasi investasi. Selalu ada ‘harga’ yang harus dibayar, seperti kekerasan terhadap warga, intimidasi, trauma psikologis dalam meneror warga dan dianggap menolak pembangunan.
Baca Juga: Kementerian ESDM Janjikan Pengembangan Geopark untuk Konservasi Warisan Geologi
“Padahal warga tidak menolak investasi. Warga menolak kampungnya digusur dan dipindahkan, karena itu akan menghilangkan nilai-nilai adat warga,” tutur Wira Ananda Manalu dari LBH Pekanbaru.
PBHI mencatat pada tahun 2023 ada ratusan PSN yang dijalankan oleh rezim Jokowi. Sebanyak 31 di antaranya berada di Sumatera dengan nilai investasi mencapai lebih dari Rp800 ribu triliun. Tapi selalu melihat pola yang sama pada proyek PSN, yakni pengamanan berlebihan. Warga yang menolak proyek tersebut dianggap sebagai musuh negara, lalu mengerahkan aparat berlebihan, termasuk pengerahan TNI.
“Proyek Rempang merupakan salah satu di antara banyaknya kasus state capture. Yakni bagaimana kepentingan swasta atau pengusaha menjadi kepentingan negara,” tutup Deta Arta Sari dari PBHI.
Baca Juga: Mengenal Bulan Mini yang Mengelilingi Bumi pada 25 dan 29 September 2024
Batalkan eco-city Rempang!
Masyarakat Adat dan Tempatan Rempang bersama Solidaritas Nasional untuk Rempang yang terdiri dari 78 organisasi masyarakat sipil di Indonesia mengirimkan surat terbuka untuk Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Perusahaan International Investments Limited, bahwa Pulau Rempang bukan tanah kosong. Ada sekitar 7.512 orang yang menghuni dan menggantungkan hidup di Pulau Rempang, Kota Batam.
Masyarakat dan Solidaritas juga menyampaikan pelaksanaan Proyek Rempang Eco City di Batam diwarnai tindak intimidasi dan kekerasan. Pada 7 September 2023, lebih dari 1.000 pasukan gabungan yang terdiri dari polisi, TNI Satpol PP, dan Direktorat Pengamanan BP Batam memaksa masuk ke Pulau Rempang.
Pengerahan aparat gabungan tersebut berujung pada penangkapan, penahanan dan perampasan kemerdekaan sewenang-wenang. Akibatnya menimbulkan korban luka fisik dan psikis, bahkan perempuan, anak-anak dan orang dengan lanjut usia tidak luput dari kekerasan tersebut.
Baca Juga: Tak Hanya Megathrust, Pakar Ingatkan Warga Waspada Sesar Aktif di Daratan
“Kami meminta kepada Presiden RRT dan Pimpinan Xinyi tidak ambil bagian dalam tindakan yang bertentangan dengan norma dan standar HAM yang berlaku secara universal,” tegas Andri Alatas dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru dalam siaran pers Walhi tertanggal 29 September 2024.
Sebab sesuai dengan United Nation Guiding Principles on Business and Human Rights, bahwa Pemerintah berkewajiban melindungi dan korporasi berkewajiban untuk menghormati hak asasi manusia tanpa terkecuali.
“Jadi kami meminta kepada Presiden RRT dan Pimpinan XINYI untuk secara terbuka menyampaikan muatan MoU dan MoA 28 Juli 2023 di Chengdu. Dan membatalkan rencana investasi yang dimuat dalam MoU dan MoA 28 Juli 2023 di Chengdu,” imbuh Eko Yunanda dari Walhi Riau.
Surat untuk Pemerintah RRT dikirimkan melalui Kedutaan Besar Tiongkok di Indonesia dan untuk Pimpinan XINYI dikirim melalui email. [WLC02]
Discussion about this post