Wanaloka.com – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bersama perwakilan warga Halmahera, Maluku Utara, Enter Nusantara, Front Mahasiswa Nasional (FMN) dan Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur (SP-NTT) berdemonstrasi di depan kantor pusat PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kamis, 1 Agustus 2024
“Ini bentuk protes dan kekecewaan masyarakat atas bencana banjir di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, Maluku Utara sejak 21 sampai 24 Juli 2024,” kata warga Halmahera, Thomas Mandalis.
Banjir setinggi hingga tiga meter tersebut melumpuhkan dan mengisolasi banyak desa, mencakup Desa Lelilef Woebulan, Lukulamo, hingga area Transmigran Kobe yang meliputi Woekob, Woejerana, dan Kulo Jaya di Weda Tengah. Banjir terus meluas ke Sagea hingga area Transmigran Waleh di Weda Utara, Halmahera Tengah, Maluku Utara yang menyebabkan sedikitnya 1.670 jiwa terpaksa mengungsi.
Baca Juga: 13 Geosite di Kebumen Diajukan KNIU Menjadi Geopark Global UNESCO
Di Halmahera Timur, banjir juga merendam setidaknya 12 desa. Selain banjir, longsor terjadi di beberapa ruas jalan lintas Buli-Subaim, Buli-Maba Tengah, dan di sepanjang Jalan Uni-Uni, Halmahera Timur. Di Halmahera Tengah, longsor memutus akses jalan Trans Pulau Halmahera yang menghubungkan Payahe-Oba di Kota Tidore Kepulauan dengan Weda, Halmahera Tengah.
Gusur Hutan Timbul Banjir
Global Forest Watch mencatat, sejak 2021 hingga 2023, Halmahera Tengah kehilangan 27,9 kilo hektare (kha) tutupan pohon yang setara dengan penurunan 13 persen tutupan pohon sejak tahun 2000, dan melepaskan emisi gas rumah kaca sebesar 22.4 Mt CO₂e.
“Bencana banjir berulang ini dipicu penggusuran hutan yang begitu massif,” kata Juru Kampanye Jatam, Alfarhat Kasman.
Baca Juga: Sensor Sap Flow Deteksi Daya Hidup Pohon secara Remote dan Real Time
Kehilangan tutupan pohon yang dominan terjadi di kawasan konsesi penambangan nikel tersebut, menyebabkan berbagai degradasi sumber daya air tawar. Juga meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi.
Laporan terbaru Jatam terkait industri keruk nikel di Halmahera menunjukkan, terdapat berbagai potensi bencana yang dipicu aktivitas tambang. Terutama akibat penggusuran hutan sebagai pengatur tata air dalam ekosistem dan penggusuran ruang hidup masyarakat.
Dalam laporan disebutkan, wilayah Halmahera Tengah dengan luas 227.683 hektar (Ha) telah dikepung 23 izin nikel. Empat izin di antaranya melintasi batas administratif Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Adapun total luas izin yang dikuasai perusahaan nikel mencapai 95.736,56 Ha atau sekitar 42 persen dari luas Halmahera Tengah dengan luas bukaan lahan untuk tambang mencapai 21.098,24 Ha. Sebagian besar berada di wilayah hutan dan merupakan hulu sungai besar di Halmahera.
Baca Juga: Organisasi Sipil Ingatkan Fakta Kegagalan CCS Cegah Pemanasan Global, Pemerintah Pilih Gencarkan
Hutan yang dimusnahkan sebagian besar berada di wilayah hulu-hulu sungai besar, seperti Sungai Kobe, sehingga menghadirkan berbagai situasi genting akibat bencana hidrometeorologi. Penggusuran hutan yang mengubah bentang alam tersebut dimotori aktivitas PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dan berbagai tambang nikel milik perusahaan pemasok bahan baku untuk IWIP.
Discussion about this post