Wanaloka.com – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan seluruh pihak untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap kondisi cuaca yang masih dinamis dan berpotensi ekstrem di berbagai wilayah Indonesia. Imbauan ini menjadi semakin penting mengingat saat ini adalah masa libur sekolah atau high season, di mana aktivitas berwisata dan bepergian ke luar kota meningkat signifikan.
“Meskipun sebagian wilayah telah memasuki musim kemarau, kondisi atmosfer dan laut masih sangat dinamis dan bisa berdampak pada keselamatan serta kelancaran aktivitas masyarakat,” kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, Kamis, 3 Juli 2025.
Seperti insiden kapal KMP Tunu Pratama Jaya yang tenggelam di Selat Bali pada 2 Juli 2025, serta sejumlah gangguan penerbangan akibat cuaca buruk. Insiden itu menunjukkan, bahwa berbagai kejadian cuaca ekstrem yang berdampak signifikan, seperti hujan lebat, angin kencang, banjir, longsor, hingga kecelakaan transportasi sesuai hasil prakiraan dan peringatan dini BMKG.
Baca juga: Pesut Mahakam Tinggal 62 Ekor Akibat Limbah Tambang dan Domestik
Prakiraan itu disampaikan sejak H-1 hingga sepekan sebelumnya, baik untuk sektor publik, pelayaran, maupun penerbangan. BMKG juga secara rutin memperbarui prakiraan cuaca dan potensi gangguan cuaca ekstrem melalui berbagai kanal komunikasi.
Musim kemarau baru 30 persen
Hingga akhir Juni 2025, BMKG mencatat baru sekitar 30 persen zona musim di Indonesia telah memasuki periode musim kemarau. Angka ini masih jauh di bawah kondisi klimatologis normal, di mana pada akhir Juni biasanya lebih dari 60 persen wilayah telah mengalami musim kemarau.
Kondisi ini dipicu anomali curah hujan yang berada di atas normal sejak awal Mei dan terus berlanjut hingga saat ini. Data BMKG menunjukkan hujan kategori atas normal tercatat di sekitar 53 persen wilayah Indonesia, terutama di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, sebagian Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Baca juga: Menhut akan Susun Syarat Pendakian Berdasar Tingkat Kesulitan Setiap Gunung
“Cuaca ekstrem juga masih berlangsung hingga awal Juli, seperti yang tercatat pada 2 Juli 2025, ketika Stasiun Geofisika Deli Serdang mencatat curah hujan ekstrem sebesar 142 mm, dan Stasiun Meteorologi Rendani Papua Barat sebesar 103 mm,” papar Dwikorita.
Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto menyampaikan dinamika atmosfer yang memicu cuaca ekstrem saat ini dipengaruhi sejumlah faktor global dan regional. Meskipun fenomena Madden-Julian Oscillation (MJO) berada di fase kurang aktif, kondisi atmosfer masih sangat labil akibat lemahnya Monsun Australia dan aktifnya gelombang ekuator seperti Rossby dan Kelvin.
“Ini menyebabkan udara di wilayah selatan Indonesia tetap lembap dan mendukung pembentukan awan hujan, bahkan di wilayah-wilayah yang secara klimatologis seharusnya sudah memasuki musim kemarau,” jelas Guswanto.
Kondisi laut juga turut memperparah potensi cuaca ekstrem. Bibit siklon tropis 98W yang terpantau di sekitar Luzon memang tidak berdampak langsung ke Indonesia, namun menyebabkan peningkatan kecepatan angin di Laut Cina Selatan.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Desak Cabut Gugatan Hukum terhadap Ahli Lingkungan
Discussion about this post