Dokter yang menangani R, Sianne menjelaskan saat tiba di IGD, pasien sudah tidak sadar. Berdasarkan anamnesis telah mengalami demam tinggi serta penurunan kesadaran sejak satu minggu sebelumnya.
“Pasien pertama kali datang ke rumah sakit sudah mengalami penurunan kesadaran, demam serta batuk sejak seminggu sebelum masuk rumah sakit. Riwayat medis menunjukkan pasien telah menjalani pengobatan yang tidak jelas ke mana lebih dari sepuluh kali dalam tiga bulan terakhir karena demam dan batuk,” ujar Sianne, Senin, 25 Agustus 2025.
Selama perawatan tim medis menemukan cacing gelang dewasa. Hasil pemeriksaan radiologi toraks menunjukkan ada TBC paru aktif dan pneumonia. Sementara radiologi abdomen memperlihatkan cacing dalam jumlah banyak tanpa tanda sumbatan. CT scan kepala juga mengonfirmasi ada radang selaput otak (meningitis).
Baca juga: Rumah Produksi Garam dari Limbah Botol Plastik Atasi Dampak Perubahan Iklim di Pantura
Penanganan dilakukan secara menyeluruh, meliputi terapi anti-TB, antibiotik, koreksi elektrolit, pemberian obat-obatan untuk mempertahankan tekanan darah dan denyut jantung, serta pemberian obat cacing albendazole. Setelah terapi albendazole, pasien mengeluarkan cacing dalam jumlah banyak melalui buang air besar selama beberapa hari.
Dalam perawatan hari kesembilan, pasien meninggal dunia, Senin, 21 Juli 2025 pukul 14.24 WIB. Menurut Sianne, diagnosis kematian langsung adalah sepsis dengan penyebab antara malnutrisi berat kwashiorkor dan stunting, serta penyebab dasar meningitis TB stadium 3.
Terkait isu di media bahwa cacing yang keluar mencapai 1 kg, Sianne meluruskan bahwa rumah sakit tidak pernah menimbang cacing tersebut.
Baca juga: Resolusi Aliansi di NTT Desak Pengesahan UU Masyarakat Adat dan Revisi Total UU Kehutanan
“Kami tidak melakukan penimbangan karena keluarnya cacing berlangsung bertahap selama beberapa hari,” tegas dia.
Ketua Kolegium Parasitologi Klinik, Prof. Agnes Kurniawan menegaskan kematian pasien tidak disebabkan cacing gelang. Melainkan kondisi medis berat yang sudah diderita sebelumnya.
“Penyebab kematian bukan cacing. Pasien sudah masuk rumah sakit dalam kondisi kesadaran menurun. Albendazole tidak langsung membunuh cacing, tetapi memicu migrasi keluar tubuh. Hasil pemeriksaan foto abdomen tidak menunjukkan adanya obstruksi atau sumbatan pada usus yang dapat menyebabkan peritonitis (radang selaput usus),” jelas dia.
Baca juga: Wisata Arung Jeram Perlu Penguatan Keselamatan dan Keamanan
Dokter spesialis anak, Prof. Anggraini pun mengatakan berdasarkan pemeriksaan, ditemukan ada infeksi di susunan saraf pusat dan sepsis. Ditambahkan pula cacing dewasa tidak masuk ke otak, paru dan jantung karena ukurannya besar.
“Larva cacing gelang memang memiliki siklus hidup melalui pembuluh darah dan saluran napas yang kadang menyebabkan gangguan nafas, namun tidak menyebabkan kematian,” jelas dia.
Kasus ini menjadi pengingat penting mengenai bahaya TBC lanjut yang diperberat malnutrisi dan infestasi parasit. Masyarakat diimbau untuk meningkatkan kesadaran terhadap sanitasi lingkungan, pemenuhan gizi anak, serta deteksi dini penyakit menular seperti TBC dan infeksi cacing.
Baca juga: Catatan Jatam, Tujuh Tahun Raksasa Industri Nikel Berproduksi dan Sarat Perusakan Lingkungan Hidup
Kolaborasi lintas sektor
Elsa mengapresiasi program Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) yang dilakukan dua kali dalam setahun dari pemerintah untuk mengantisipasi kejadian serupa. Namun, intervensi tidak bisa berhenti pada pembagian obat saja.
Sebab, obat cacing efektif menurunkan beban infeksi. Namun tanpa perbaikan sanitasi dan perilaku, anak bisa terinfeksi karena lingkungannya.
“Masalah utama pada kebiasaan buang air besar di tempat terbuka yang masih terjadi di masyarakat. Telur cacing dari feses yang mencemari tanah akan menjadi sumber penularan,” papar dia.
Baca juga: Kata Pakar Soal MBG, Keracunan Berulang hingga Dugaan Food Tray Mengandung Minyak Babi
Elsa menyebut pengalaman kesuksesan salah satu daerah di Yogyakarta pada 1970-an yang berhasil menekan angka kecacingan melalui pembangunan jamban serta edukasi masyarakat. Ia menilai model kolaborasi lintas sektor serupa, melibatkan Kementerian Perumahan Rakyat, pemerintah daerah, hingga masyarakat harus digalakkan.
Rekomendasinya, ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor, evaluasi berkala dengan memeriksa feses populasi sebelum dan setelah intervensi, juga pengawasan pada resistensi obat.
“Kematian akibat cacingan sebenarnya bisa dicegah. Namun, butuh tanggung jawab bersama. Tidak cukup hanya pemerintah, tetapi juga peran keluarga, kader kesehatan, hingga masyarakat,” pungkas dia.
Kasus di Sukabumi menjadi pengingat, bahwa kecacingan bukan sekadar masalah kesehatan anak, melainkan juga persoalan sanitasi dan kesadaran kolektif. Tanpa intervensi menyeluruh, ancaman serupa bisa kembali terulang di berbagai daerah. [WLC02]
Sumber: UGM, UM Surabaya, Kementerian Kesehatan
Discussion about this post