Mahfud mengkritisi setidaknya dua hal, yaitu penggunaan APBN untuk proyek IKN dan penguasaan lahan skala besar oleh segelintir orang di wilayah IKN. Menurut Walhi, proyek IKN adalah proyek yang bermasalah, baik secara sosial, ekologis maupun secara yuridis.
Baca Juga: Industri Ekstraktif Tak Usai, Pemerintah Justru Genjot Tambang Bawah Tanah
“Pemindahan ibu kota tidak menjawab masalah sosial dan lingkungan hidup di Jakarta. Dan tidak menyelesaikan masalah ketimpangan ekonomi,” kata Manajer Kampanye Perkotaan Walhi, Abdul Ghofar.
Proyek ini justru memberi karpet merah pada segelintir korporasi yang menguasai tanah skala besar pada lahan IKN. Sementara penggunaan APBN dalam pembangunan IKN yang dilegitimasi oleh UU IKN kontradiktif dengan janji Jokowi yang menyatakan tidak akan membebani APBN untuk proyek IKN.
Sementara cawapres Muhaimin menyampaikan kritik terhadap pembangunan IKN yang akan menggunakan APBN hingga sekitar Rp500 triliun. Menurut Muhaimin, besarnya anggaran tersebut dalam dialihkan untuk pembangunan infrastruktur lain, seperti jalan dan sekolah di Kalimantan. Dia pun menyebut akan membangun 40 kota baru setara Jakarta.
Baca Juga: Gunung Lewotobi Laki-laki Erupsi, Hujan Abu di Lima Desa
Bagi Walhi, janji membangun 40 kota baru itu sangat problematis dan menunjukkan kegagalan dalam memahami masalah-masalah perkotaan. Ketimbang berambisi membangun kota-kota metropolitan baru, seharusnya kandidat terpilih berusaha menciptakan perkotaan yang humanis dan inklusif, seperti pembangunan sistem transportasi publik, hunian layak dan terjangkau, penyediaan sanitasi, air, dan pengelolaan sampah yang baik, dan perbaikan kualitas lingkungan hidup.
“Perkotaan juga tidak boleh dilihat hanya sekadar gedung pencakar langit. Namun juga menyoal hak atas kota bagi warganya,” ucap Ghofar.
Apa yang Luput dari Debat?
Sama seperti debat calon presiden sebelumnya yang bertema hukum, ada beberapa hal penting yang luput dibahas pada debat tema ekonomi para cawapres ini. Pertama, terkait bagaimana APBN dan anggaran negara lainnya, seperti BUMN, dipergunakan dan dari mana sumber pendanaannya. Ugal-ugalan penggunaan APBN dan sumber pendanaan dari utang yang cukup besar mengancam kesehatan fiskal negara dan dapat membuat indonesia masuk dalam jebakan utang yang lebih dalam.
Baca Juga: Pascaerupsi Marapi, Bandara Internasional Minangkabau Dibuka Kembali
Pembiayaan di luar APBN lainnya, seperti pada BUMN yang seringkali menjadi beban keuangan yang harus ditanggung negara perlu jadi perhatian publik. Di luar kasus-kasus yang telah muncul ke permukaan, seperti kasus Garuda Indonesia (PT GIA) dan PT Waskita, serta masih banyak lagi masalah BUMN yang membuat negara mengeluarkan uang besar untuk menanganinya.
Kedua, para cawapres juga tidak memberi kejelasan arah pembangunan ekonomi rendah karbon sebagaimana sering dikutip dalam program-program negara. Menariknya lagi, ada penggunaan Carbon Capture Storage (CCS) yang sempat dikemukakan dalam sesi tanya jawab.
Walhi menengarai para cawapres belum memahami, bahwa teknologi ini hanya solusi palsu dalam mengatasi pemanasan global dan krisis iklim. Bahkan Badan Energi Internasional menyebut, bahwa sejarah CCS, sebagian besar adalah harapan yang tidak terpenuhi.
Baca Juga: BBSPGL Petakan Potensi Energi Laut Indonesia untuk Listrik Capai 60 GW
“Bergantung pada teknologi gagal yang justru memperpanjang umur penggunaan energi fosil adalah langkah mundur kita untuk mengatasi pemanasan global dan perubahan iklim,” kata Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau Kecil Walhi, Parid Ridwanuddin.
Walhi mendorong perubahan signifikan ekonomi Indonesia dari corak ekstraktif menuju ekonomi regeneratif sebagaimana yang dituangkan pada Ekonomi Nusantara. Praktik Ekonomi Nusantara memiliki empat nilai pengikat: Pertama, hubungan sejarah. Kedua, hubungan dengan lanskap ekologis. Ketiga, praktik ekonomi yang tidak destruktif. Keempat, memiliki dimensi pemulihan kondisi sosial-ekologis.
Semangat swakelola berelasi baik dengan alam, komunalisme, dan praktik skala kecil adalah kekuatan utama ekonomi di masyarakat. Praktik ekonomi yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat adat dan masyarakat lokal sesungguhnya berbeda dari praktik ekonomi ekstraktif yang selama ini berjalan. Pemilihan pada ekonomi ekstraktif di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, hanya akan berakhir pada perluasan krisis sosial-ekologis dan peningkatan kerentanan menghadapi krisis iklim. [WLC02]
Sumber: Walhi
Discussion about this post