“Kalau perlindungan tidak kuat, konversi sawah bisa terjadi dengan cepat,” tegas dia.
Baca juga: Ikhtiar Petani Gunungkidul Menjaga Pangan Lokal yang Terancam Ditinggalkan
Meskipun Undang-Undang 41 Nomor 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sudah ada, implementasi di daerah masih lemah. Banyak peraturan daerah (perda) dibuat tanpa peta spasial yang jelas, sehingga perlindungan lahan tidak berjalan efektif. Akibatnya, 23 provinsi kini mengalami defisit sawah, sementara hanya 14 provinsi yang surplus.
Ia juga menegaskan, bahwa persoalan pangan tidak hanya soal ketersediaan, tetapi juga distribusi dan akses.
“Kalau bicara angka global, Indonesia seakan tidak kekurangan beras. Namun isu distribusi dan daya beli masyarakat tetap menjadi tantangan,” kata dia.
Baca juga: Yang Bertahan dan Hilang dari Kemandirian Pangan Lokal di Gunungkidul
Suryo menekankan tiga strategi untuk solusinya, yakni melindungi lahan subur, membuka area baru pertanian, serta meningkatkan produktivitas. Ia juga mendorong diversifikasi melalui tanaman bernilai ekonomi tinggi seperti jamur pangan (edible), hortikultura, dan rempah.
Baba menekankan pentingnya konsistensi kebijakan perlindungan sawah dan transisi yang adil bagi petani. Perlu perhatian terhadap faktor air, produktivitas, hingga ketergantungan petani terhadap lahan.
Momentum Hari Pangan Sedunia sekaligus Hari Tani Nasional menjadi pengingat bahwa alih fungsi lahan bukan sekadar isu teknis, tetapi persoalan strategis bangsa. Tanpa komitmen serius dari pemerintah daerah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan, ancaman krisis pangan akan semakin nyata.
“Petani harus makmur agar pangan kita terjamin,” tegas Suryo. [WLC02]
Sumber: IPB University







Discussion about this post