Pertama, kurangnya keberanian petani lokal Gunungkidul menyajikan produk pangan lokalnya. Sebab masyarakat umum sejak kecil tidak terbiasa mengonsumsi pangan lokal. Dari meja makan di rumah hingga di hotel-hotel mewah sudah terbiasa sajian mi instan atau pun roti dari gandum.
Sementara sejak zaman Orde Baru hingga saat ini, masyarakat Gunungkidul yang masih mempertahankan tiwul sebagai makanan pokok dianggap tidak sejahtera.
“Misalnya musim kayak begini (panen singkong), orang Gunungkidul makan tiwul saja masuk koran. Kesejahteraannya dianggap turun karena tidak bisa beli beras,” papar dia.
Berbeda dengan masa ayahnya dulu yang seorang buruh tebas. Saat istirahat kerja terbiasa disajikan beraneka ragam pangan lokal, terutama diversifikasi karbohidrat. Saat istirahat pukul 10.00 disiapkan sajian tiwul atau telo gemblong, yaitu ketela rambat yang direbus dan ditumbuk. Istirahat sore disajikan aneka rebusan umbi-umbian, termasuk kimpul rebus.
“Semua godhogan (rebusan), jarang digoreng. Itulah mengapa orang tua kita lebih sehat dari kita,” kata Taryono yang masih mengonsumsi umbi-umbian rebus.
Kedua, tak semua bahan baku pangan lokal di Gunungkidul mudah didapatkan saat ini. Taryono mengaku kesulitan menemukan sorgum, koro pedang, hingga uwi dan gembili di sana.
“Dan penelitian untuk menghasilkan bahan baku lokal menjadi pangan yang sangat menarik itu kan terbatas. Dana keistimewaan DIY seharusnya bisa untuk itu,” ucap dia.
Kondisi-kondisi itu pun tak lepas dari pengaruh kebijakan pemerintah ‘memaksa’ petani untuk menanam benih pangan tertentu, meskipun bersifat bantuan ataupun subsidi.
“Saya punya usulan, mestinya pemerintah sebelum mengintroduksi suatu teknologi, misalnya suatu varietas tertentu, harus mengamankan terlebih dulu sumber daya genetik atau plasma nutfahnya,” kata pegiat pelestarian sumber daya genetik pertanian itu.
Sementara bagi Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Prof. Bambang Hudayana, tantangan ke depan tak hanya meningkatkan diversifikasi pangan melalui menanam tanaman pangan lokal. Melainkan juga bagaimana membuat produk tersebut laku di pasaran.
Baca juga: Iklim Genting, Perempuan Petani Kulon Progo Pontang Panting (Bagian 1)
“Tugas kami, mendorong agar makanan itu naik kelas. Tidak direndahkan karena dulu makanan ini bukan makanan priyayi atau bukan makanan impor. Justru ini makanan asli. Jadi bagaimana menaikkan kembali martabat makanan asli itu menjadi makanan yang bernilai secara sosial dan kultural,” papar Bambang.
Salah satu studi yang telah dilakukan adalah terkait singkong untuk kedaulatan pangan. Selama ini olahan singkong di Gunungkidul menjadi gaplek, lalu menjadi tiwul direndahkan karena adanya aneka sajian roti dan keju yang dinilai publik lebih bermartabat. Namun dalam perkembangan sosial, masyarakat ternyata juga ingin ada variasi-variasi yang ramah lingkungan agar laku kembali. Mereka pun melakukan inovasi singkong yang tenyata bisa dijadikan produk mi, aneka camilan, hingga es krim.
“Makanan sehat, murah meriah dan bisa membangkitkan perekonomian,” kata dia.
Sejumlah pusat studi melakukan kerja sama. PSPK misalnya, mendorong perempuan-perempuan di Gunungkidul bisa menghidupkan kembali perekonomiannya dari mengolah pangan lokal dan menjualnya. Pusat Studi Pariwisata mendorong agar produk pangan lokal itu bisa menjadi oleh-oleh pariwisata.
Orang datang ke Gunungkidul, misalnya untuk membawa pulang tiwul, ceriping dari bonggol pisang. Tak sekadar oleh-oleh, nostalgia masa lalu pun menjadi bernilai. Hal sama juga diterapkan di daerah lain, seperti orang berwisata ke Dieng, Kabupaten Wonosobo sambil membawa oleh-oleh purwaceng, di Papua ada buah merah, dan sebagainya.
“Apa yang lokal menjadi sesuatu yang penting untuk dijadikan kebanggaan. Itu identitas era sekarang ini,” kata antopolog ini.
Untuk mewujudkan kedaulatan pangan lokal, baik Taryono dan Bambang tak terlalu risau dengan sumber daya petani muda yang minim dan terbatas di Gunungkidul. Berdasarkan data Dinas Pangan dan Pertanian Gunungkidul ada 427 orang petani milenial dengan rentang usia 29-44 tahun. Selebihnya masih didominasi petani generasi tua, yakni usia 45 tahun ke atas.
Salah satu penyebab keengganan anak-anak muda menjadi petani, menurut Taryono adalah kian sempitnya kepemilikan lahan pertanian. Kondisi itu pula yang menyebabkan petani di Indonesia umumnya, miskin.
Soal kepemilikan lahan ini, Taryono mempunyai catatan perbandingan dengan sejumlah negara agraris lainnya. Petani Thailand punya kepemilikan lahan antara 4 – 5 hektare per keluarga. Petani Indonesia hanya 0,25 – 0,5 ha. Berbeda petani zaman Orde Baru yang mendapat 2,5 ha bagi yang ikut transmigrasi. Kemudian luasan lahan petani Malaysia tergantung negara bagian, yakni 2 ha – 10 ha. Sedangkan Vietnam 0,6 ha.
“Jadi petani Thailand yang paling kaya. Bahkan Vietnam hampir 3 kali lebih besar dari kita,” kata Taryono.
Sementara lahan di wilayah DIY kecil-kecil. Sulit membuat petani sejahtera. Tak heran, kemunculan sentra-sentra kerajinan di pedesaan merupakan salah satu alternatif untuk mendukung perekonomian mereka.
“Jadi (petani) generasi mudanya ya 1-2 orang cukup. Tidak harus banyak, asalkan berpendidikan,” imbuh dia.
Sebaliknya, jika petani bisa hidup dan sejahtera, bisa menyekolahkan anak hingga ke perguruan tinggi, generasi muda yang meninggalkan desanya akan kembali lagi untuk bertani.
Hal senada juga disampaikan Bambang. Bahwa berkurangnya jumlah petani justru makin baik, mengingat petani menghadapi masalah kekurangan lahan.
“Jadi ke depan, lebih baik petani lebih sedikit. Supaya lahannya diurus oleh mereka yang tekun menjadi petani, sehingga pendapatannya menjadi lebih baik,” kata Bambang.
Praktik tersebut juga bagian dari pembagian tenaga kerja. Yang muda bekerja ke kota menjadi penjual bakso misalnya, sementara sawah di desa dirawat orang tuanya.
“Di mana-mana begitu. Kalau sudah tua, ya kembali jadi petani,” kata Bambang.
Di sisi lain, kehidupan menjadi petani pun ada siklusnya. Tidak tiap hari berada di bawah terik matahari. Siklus itu yang membuat anak-anak muda yang bekerja di kota pun akan pulang sejenak untuk mengurus sawahnya. Seperti saat masa tanam maupun masa panen tiba.
Menguatkan lewat regulasi

Secara topografi, Kabupaten Gunungkidul berada di Pegunungan Sewu yang merupakan kawasan karst. Luasannya 1.475,147 kilometer persegi yang meliputi 18 kecamatan, 144 desa dan 1.431 dusun. Dikutip dari makalah Miftahul Habib Fachrurozi dalam Seminar Nasional Sejarah 2019, berjudul “Dinamika Masyarakat Petani di Gunungkidul Tahun 1950-an hingga 1980-an”, Gunungkidul terbagi menjadi tiga zona, meliputi utara, tengah, dan selatan.
Zona utara memiliki ketinggian 200-700 meter di atas permukaan laut (mdpl) yang mencakup Kecamatan Patuk, Gedangsari, Nglipar, Ngawen, Semin, dan Ponjong bagian utara. Zona ini merupakan kawasan perbukitan.
Kemudian zona tengah dengan ketinggian 150-200 mdpl yang meliputi Kecamatan Playen, Wonosari, Karangmojo, Ponjong bagian tengah dan Semanu bagian utara. Zona tengah merupakan satu-satunya wilayah yang relatif cukup subur karena dialiri Sungai Oya.
Sedangkan zona selatan merupakan wilayah pengembangan Pegunungan Sewu yang memiliki ketinggian 100-300 mdpl. Di sana ada Kecamatan Saptosari, Paliyan, Girisubo, Tanjungsari, Rongkop, Purwosari, Ponjong bagian selatan, Semanu bagian Selatan, serta Tepus dan Panggang. Wilayah ini paling sering mengalami kekeringan. Tak terkecuali Dusun Wintaos yang masuk wilayah Desa Girimulyo, Kecamatan Panggang.
Baca juga: Belajar dari Keluarga Suku Baduy Luar Menghadapi Serbuan Teknologi Gawai
Tak heran, kondisi zona-zona tersebut memengaruhi pertanian dan keberlangsungan pangan lokal di sana. Berdasarkan data tahun 2024 dari Badan Pusat Statistik (BPS) Gunungkidul, lahan tegalan adalah yang paling luas ketimbang lahan persawahan, yakni 65.535,7 hektare. Mayoritas berada di zona selatan. Disusul lahan sawah irigasi seluas 2.192,00 ha dan sawah non irigasi 5.664 ha.
Dari lahan-lahan tersebut yang ditanami padi hanya seluas 13.988,10 ha. Lahan jagung adalah yang paling luas, yakni 52.367,00 ha. Kemudian luasan lahan singkong 42.653 ha, kacang tanah 44.788 ha, kedelai 646,50 ha, kacang hijau 138 ha, serta ubi jalar 4 ha.
Sedangkan produktivitas singkong tetap lebih unggul, yakni 625.665 ton. Kemudian jagung 283.879 ton, kacang tanah 41.037 ton, dan kedelai 891 ton.
Upaya pelestarian keanekaragaman pangan lokal disikapi Pemerintah Gunungkidul dengan menyusun sejumlah regulasi. Pada 30 April 2025, Bupati Gunungkidul Endah Subekti Kuntariningsih membuat terobosan untuk menekan pengeluaran keluarga dengan meluncurkan program Gerakan Pengembangan Pangan dan Gizi atau Gerbang Pagi. Program yang kemudian diatur dalam Surat Edaran (SE) Nomor 33 Tahun 2025 tentang Gerakan Pengembangan Pangan dan Gizi itu menyasar keluarga-keluarga di masyarakat.
“Kalau bisa nanam lombok, mengapa harus membeli. Sing ditandur, ayo ditandur. Sing iso dipangan mergo awake dhewe nandur, ayo ditandur (yang ditanam, ayo ditanam. Yang bisa dimakan karena kita menanam, ayo ditanam),” ucap Endah.
Tak hanya masyarakat, aturan itu juga diwajibkan bagi setiap aparatur sipil negara (ASN) dari tingkat bawah hingga tingkat elit, termasuk dirinya. Alasannya, karena mereka digaji dengan uang negara, sehingga harus menjadi teladan yang baik.
“Mereka kan pemimpin. Kalau mengajak masyarakat, tapi tidak nandur, kan salah, nggak memberi contoh,” imbuh dia.
Sementara di tingkat pemerintahan, pada 16 Juli 2025, Endah menerbitkan SE Bupati Nomor 40 Tahun 2025 tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Potensi Sumber Daya Lokal. Isinya mewajibkan hidangan kudapan, minuman hingga makanan berat yang disajikan dalam acara-acara resmi pemerintahan, termasuk di setiap organisasi perangkat daerah (OPD), berasal dari pangan lokal Gunungkidul.
Sebut saja seperti singkong, ubi jalar, uwi, gembili, jagung, kedelai, kacang tanah, juga pisang, srikaya, belimbing, kedondong. Bukan makanan impor berbahan gandum.
Tak hanya memperkenalkan dan melestarikan kembali pangan lokal di tiap-tiap OPD, sekaligus mengajak hidup sehat. Melainkan juga upaya meningkatkan produktivitas petani lokal. Sebab kewajiban itu akan mendorong tiap-tiap OPD untuk membeli pangan lokal yang diproduksi petani-petani lokal di sana.
Sebenarnya, pada 2013, kebijakan serupa pernah dikeluarkan Bupati Gunungkidul masa itu. Ada SE Bupati Gunungkidul Nomor 521/0843 Tahun 2013 tentang Gerakan Konsumsi Pangan Lokal. Tak hanya mewajibkan pemerintah di tingkat OPD, tetapi hingga ke lapisan masyarakat.
Namun lima tahun berselang, pengonsumsian pangan lokal malah dirasa menurun, terutama di tingkat pemerintah. Lantaran banyak yang mengasumsikan pangan lokal sebatas umbi-umbian dan pangan yang direbus.
Sementara produk pertanian berupa beras dan jagung masih menjadi perhatian utama dari pemerintah setempat. Pada musim tanam Oktober 2025 ini, pemerintah menggelontorkan bantuan benih secara cuma-cuma ke gapoktan-gapoktan di sana. Seluruhnya ada 58,46 ton benih jagung hibrida untuk lahan seluas 5.846 hektare dan 108,3 ton benih padi inbrida untuk 4.332 hektare lahan sawah.
Ancaman krisis iklim yang ditengarai rentan untuk kedua tanaman pangan itu, tak merisaukan Kepala Dinas Pangan dan Pertanian Gunungkidul, Rismiyadi. Kemarau basah seperti saat ini misalnya, ia optimis panen padi dan jagung kelak akan melimpah.
“Kuncinya itu adaptasi iklim dengan mengembangkan varietas tahan iklim,” kata dia.
Selain itu dikembangkan upaya diversifikasi tanaman sesuai potensi lokal, pemanfaatan air secara bijak, hingga mengajak petani muda untuk lebih aktif menggunakan teknologi pertanian.
“Pangan lokal tetap bisa mandiri dan berdaya saing,” imbuh dia. Selesai
Pito Agustin Rudiana
Liputan ini bagian dari “Journalist Fellowship and Mentorship Program for Sustainable Food System 2025″ yang didukung Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) bekerja sama dengan AJI Jakarta.







Discussion about this post