Wanaloka.com – Senyum perempuan petani Kulon Progo, Yohana Suinem, 54 tahun sumringah saat mengisahkan kembali masa kecilnya yang suka membantu orang tuanya di sawah. Sang bapak menghancurkan gumpalan-gumpalan tanah di sawah dengan glebek (semacam traktor tradisional), sementara Yohana kecil duduk di tengah glebek yang ditarik kerbau. Dia pun kegirangan saat bisa menangkap ikan-ikan kecil, seperti wader yang berenang di genangan sawah sebelum ditanami.
“Dulu banyak ikan. Kalau ikut bapak ke sawah, bawa wadah untuk naruh ikan,” kenang Yohana saat menceritakan kepada Wanaloka.com di kediamannya di Dusun Ngaliyan, Desa Gunung A, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, Rabu 1 Mei 2024.
Sekitar tahun 1970-1980-an itu, ia masih tinggal di Lampung. Sejak 1991, ia tinggal di Samigaluh, salah satu kawasan dataran tinggi di perbukitan Menoreh.
Bibit padi yang ditanam adalah benih padi lokal yang sudah ada turun-temurun sejak zaman kakek neneknya. Yohana masih ingat, ada yang namanya Makmur. Ada padi ketan yang berbulu hitam yang tak hanya enak, tapi juga tahan hama. Ada pula benih padi Bongkar Utang.
“Kata simbah, kalau nanam itu bisa buat nyaur (bayar) utang. Hasilnya memang bagus,” kata Yohana, lalu tertawa kecil.
Agar tumbuh subur, orang tuanya mengolah lahan dengan pupuk kandang. Kadang juga ditaburi abu sisa pembakaran kayu di tungku dapur. Abu membuat tanah sawah gembur dan mudah ditanami.
“Daun bekas bungkus tempe, sisa-sisa dapur, juga dibawa ke sawah. Jadi pupuk,” imbuh suaminya, Suswanto, 63 tahun yang juga mengisahkan masa kecilnya di Ngaliyan.
Bibit-bibit padi pun tumbuh, membesar dan berbulir. Menurut ibu dua anak itu, padi-padinya jarang diserang hama, setidaknya hanya burung dan tikus.
Yohana yang sering ikut mengurus sawah, cukup mengusirnya dengan menggunakan bambu yang dipotong dan dibelah tiga per empat. Bilah bambu itu tak melukai karena bunyi plok plok plok saat bambu digoyang akan membuat burung-burung itu terusik dan terbang menjauh.
Untuk mengusir tikus pun tidak perlu meracuninya. Ia dan bapaknya memasang kaleng bekas susu di aliran air dekat sawah pada malam hari. Kaleng itu diikat karet gelang pada bambu.
“Kalau malam, saat air mengalir, kalengnya bunyi thuk thuk thuk. Tikusnya pergi,” kata Yohana.
Umur padi lokal lebih panjang. Pada usia enam bulan, padi baru siap dipanen. Dalam setahun cukup dua kali tanam, dua kali panen. Postur tanaman padi pun tinggi-tinggi sehingga membuat tubuh Yohana tenggelam saat membantu orang tua memanen dengan ani-ani.
“(Tanaman) padi sama (tubuh) aku, tinggi (tanaman) padinya. Kalau padi sekarang pendek-pendek,” kata Yohana.
Beras dari padi lokal yang dimasak menjadi nasi yang enak, pulen, wangi, dan ada rasa manis. Nasinya tak cepat basi, bisa awet hingga 3-4 hari. Berbeda dengan nasi zaman sekarang yang cepat basi.
Baca Juga: Renungan 18 Tahun Gempa Bantul, Sesar Aktif di Pulau Jawa Terus Bertambah
Tetangga Yohana beda desa, pasangan suami istri, Th. Harning Sulastri, 51 tahun dan Archagius Subari, 54 tahun juga lahir dari rahim petani. Saat kecil, Subari ingat bapaknya tak hanya mengolah tanah sawah tadah hujan tiga petak. Ada pula tegalan yang ditanami cabai dan jagung.
Kini, ia baru kepikiran. Bagaimana mungkin bapaknya seorang diri bisa menggarap dua lahan yang berbeda karakteristiknya sekaligus, mulai dari menanam hingga memanen?
“Mungkin karena musim kemarau dan penghujan masih stabil ya. Sesuai pranata mangsa,” duga Subari di rumahnya di Dusun Nyemani, Desa Sidoarjo, Kecamatan Samigaluh, Sabtu, 4 Mei 2024 pagi.
Hal sama juga dilakukan bapaknya Harning. Ibu tiga anak itu menduga saat masuk musim penghujan, bapaknya mulai menggarap sawah yang bergantung pada air hujan. Sembari menunggu masa matun (menyiangi rumput), ia menggarap tegalan, lalu kembali ke sawah ketika masa menyiangi tiba.
Sementara bapak mempersiapkan lahan saat kemarau. Kemudian hujan pertama datang, bapak kembali menggarap tegalan dengan menanam jagung. Selesai uwur (menanam), barulah menggarap sawah lagi.
Keblinger Produk Pabrikan
Kisah-kisah indah masa kecil Yohana dan Harning tak bertahan lama. Berakhir ketika pemerintahan Orde Baru (Orba) di bawah rezim Soeharto menerapkan program Revolusi Hijau lewat program Bimbingan Massal (Bimas) yang dikembangkan menjadi Intensifikasi Massal (Inmas).
Revolusi Hijau adalah sebuah proyek berskala global. Pemerintah Orba mengikuti program ini untuk mewujudkan swasembada beras.
Pemerintah meminta petani melaksanakan Panca Usaha Tani. Rinciannya meliputi penggunaan bibit unggul, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, pengairan, serta perbaikan cocok tanam. Paket ini dijalankan dengan dukungan kebijakan subsidi oleh pemerintah.
Seingat Yohana, pemerintah Orba menjalankan program ini lewat Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Benih padi yang dibagikan adalah hasil rekayasa genetika sehingga menjadi unggul atau dikenal dengan sebutan benih hibrida.
Awalnya ada Pelita, IR 64 yang berumur tanam lebih pendek dan masa panen cepat, yaitu tiga bulan. Jika padi lokal hanya bisa dua kali panen dalam setahun, maka padi unggul bisa tiga kali panen dalam setahun. Produktivitasnya lebih tinggi.
“Jadinya kami petani kan, keblinger juga,” aku Yohana.
Ketika semua petani menggunakan benih padi unggul, pelan-pelan berbagai benih padi lokal hilang. Petani-petabi tradisional mulai meninggalkan kebiasaan melestarikan benih-benih padi andalan keluarga yang ditanam turun-temurun itu.
Namun benih padi unggul harus diberi makan pupuk kimia buatan pabrik agar hasil panennya banyak. Penggunaan pupuk kimia juga gampang, tinggal tabur. Bapaknya Harning juga menggunakan pupuk buatan pabrik, seperti TSP (Triple Superphospate) dan urea.
“Saya masih ingat betul, setiap musim tanam, Bapak menimbun berkarung-karung pupuk pabrik di rumah,” kata dia.
Acapkali bapaknya mencampur pupuk kandang dengan pupuk kimia.
Baca Juga: Air Warga di TPA Piyungan Tercemar, Belajarlah Pengelolaan Sampah di TPST Bantar Gebang
“Beliau tidak puas kalau nggak pakai pupuk kimia. Hasilnya kurang maksimal,” kata Subari.
Tak hanya menggenjot produkivitas padi, pupuk kimia juga membuat daun padi hijau segar. Hama dan penyakit padi pun mati kena semprot pembasmi hama kimia (pestisida kimia).
Para petani tradisional kian terpikat beralih ke pertanian konvensional (biasa juga disebut pertanian konvensional dengan teknologi modern). Dan semakin bergantung pada produk-produk pabrikan itu. Tak terkecuali orang tua dari Herni Saraswati, 63 tahun, warga Dusun Jogobayan, Desa Banjararum, Kecamatan Kalibawang.
“Orang tua kami sering ambil pinjaman kredit untuk pertanian (untuk membeli paket pemerintah) dan penghasilan jadi minus,” papar Herni di rumahnya, Sabtu, 27 April 2024 pagi.
Sebab pupuk kimia membuat tanah semakin rakus pupuk. Kebutuhan pupuk kimia pun makin meningkat.
Sayangnya, cita rasa nasi dari padi yang menggunakan pupuk kimia, menurun. Cenderung hambar, tidak pulen, tidak legit, tidak awet, bahkan keras. Berbeda hasilnya saat masih menerapkan pertanian tradisional.
“(Masa itu) Ibarat lauk garam pun, asalkan nasinya enak, pulen, tetap lahap,” kata Herni.
Iklim Kian Genting
Penggunaan produk-produk kimia sejak Orba untuk memproduksi pangan menuai dampak buruk. Tidak terkecuali di Kulon Progo. Lima tahun belakangan, rindang pohon di sekitar 600 mdpl Bukit Menoreh tak mampu menghalau cuaca panas di sana.
Lahan tegalan Harning rusak. Saat kemarau, tanah menjadi tandus dan retak-retak. Pohon cengkih mati kering karena akarnya putus akibat dari tanah yang retak-retak.
“Cengkeh yang disawuri pupuk kimia, buahnya memang luar biasa. Tapi tidak panjang umur, kering. Cengkeh yang pakai pupuk kandang masih hidup, meski tanahnya berkobang-kobang (retak-retak),” papar Harning.
Panas terik yang tiba-tiba tergantikan hujan lebat, juga membuat tanaman jagung yang ditanam Yohana tak bisa tumbuh 100 persen.
“Sekarang nanam jagung luar biasa pusing. Pas di sini uwur, panas, nggak tumbuh. Nanti hujan, disulami (ditanami lagi). Terus panas lagi, nggak tumbuh lagi. Sudah berapa bibit, saya tanam gagal terus,” keluh dia.
Krisan yang tumbuh di sana juga tak lagi berbunga tahun ini karena diserang hama. Bintik-bintik hitam pada sisi belakang daun membuat daunnya menghitam, lalu mengering. Hama juga menyerang tanaman cabai dan terong.
Ketersediaan air pun mulai jadi persoalan. Meskipun air melimpah saat penghujan, tetapi sumber air bisa kering selama berbulan-bulan saat kemarau panjang. El Nino 2023 menyebabkan beberapa tetangganya membeli air seharga Rp100 ribuan lebih per tangki.
Beruntung, Yohana sekeluarga masih bisa mendapatkan air bersih. Meskipun ia harus memasang pipa sepanjang 500 meter untuk mengalirkan air dari sumber air di hutan ke rumahnya.
Namun air dari hutan itu hanya bisa untuk konsumsi sehari-hari keluarganya. Tak bisa untuk mengairi tanaman, apalagi memelihara ikan. Ia mengandalkan air bekas cucian beras hingga air bekas bilasan cucian piring untuk menyiram aneka tanaman sayur di pekarangannya.
Akibatnya, ia tak menanam padi di sawah tadah hujannya selama dua musim pada 2023. Ia baru mulai tanam lagi pada Januari 2024. Namun saat padi tengah meratak (bulir-bulir padi telah keluar), malah disikat hama wereng batang cokelat.
“Tinggal (sisa) sedikit. Werengnya cepat sekali nyerang. Sekarang alam semakin keras. Iklim genting, petani pontang panting, memang benar,” keluh Yohana.
Bagi warga Dusun Jogobayan, Desa Banjararum, Kecamatan Kalibawang, Misidah, 55 tahun, mengatasi hama wereng sangat sulit saat ini. Zaman simbahnya dulu, hama bisa diprediksi kapan datangnya, sehingga dapat dicegah. Waktu itu pola tanam masih sesuai dengan pranata mangsa.
Baca Juga: Teknologi PV-SWRO UGM Atasi Kelangkaan Air Bersih di Pesisir dan Pulau Kecil
“Dulu nanam padi pakai musim, sekarang kan nggak pakai musim. Pakai peraturan pemerintah,” kata Misidah.
Ia mencontohkan, setiap habis turun hujan, hama wereng datang banyak sekali. Kemudian petani menyemprot dengan pestisida pada pagi hari. Malam hari turun hujan lagi, pagi hari jumlah hama meningkat lagi.
Sementara petani yang mengendalikan hama dengan pestisida alami, seperti menggunakan tetes tebu, justru membuat lengket dan disukai hama.
“Sekarang nggak bisa (menangkal pakai tetes tebu). Jadi organik dan nonorganik kena semua. Cuma ketahanannya mungkin yang beda,” imbuh Misidah.
Rupanya hama wereng batang cokelat (Nilaparvata lugens) ini tengah mewabah di seluruh kecamatan di Kulon Progo sejak April 2024, terutama di Samigaluh dan Nanggulan. Meski bukan kali pertama, tetapi serangan hama ini meningkat ketimbang musim-musim sebelumnya.
Discussion about this post