Para pemain tambang ilegal juga merupakan politisi partai politik yang dekat dengan kekuasaan. Salah satunya operasi PT Mahesa di Desa Morombo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara yang tidak mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Sejumlah anak dari elit pemerintah dan politik, juga istri penegak hukum disinyalir sebagai pemiliknya.
Baca Juga: Film “Barang Panas” tentang Geotermal Diputar Perdana di 14 Tempat
Tak Cukup Lapor ke KPU dan Bawaslu
Langkah PPATK yang mengungkap aliran dana dari tambang ilegal dalam Pemilu 2024, kemudian melapor kepada KPU dan Bawaslu dinilai Jatam tidak berdampak signifikan pada terputusnya aliran dana ilegal Pemilu.
Apalagi diperparah persoalan dana kampanye dalam setiap pesta elektoral yang serba tertutup. Pada Pemilu serentak 2019, misalnya, KPU mengeluh pelaporan dana kampanye sebagai formalitas belaka. Partai politik enggan melaporkan secara rinci terkait sumber, penggunaan dan pertanggungjawaban dana kampanye. Terutama yang berasal dari perorangan maupun kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha non-pemeritnah.
“Meski transparansi dana kampanye menjadi penting, tetapi tidak akan menghentikan maraknya operasi tambang ilegal di Indonesia. Apalagi, dalam sejarah Pemilu Indonesia, sumber dana kampanye yang ilegal tak sampai membatalkan partisipasi pemilu, partai, atau orang,” papar Pengacara Jatam, Muh. Jamil.
Baca Juga: Walhi: 3 Capres Tak Singgung Ketidakadilan Penguasaan SDA dalam Debat HAM
Polemik aliran dana tambang ilegal dalam Pemilu 2024 mesti mesti ditindaklanjuti dengan membuka sumber aliran dana, model dan pola transaksi, waktu, serta penerima manfaat dari aliran dana illegal tersebut.
“Sekaligus Juga dibutuhkan langkah penegakan hukum yang tegas. Salah satunya mulai dari institusi penegak hukum, seperti Polri itu sendiri,” kata Jamil. [WLC02]
Sumber: Jatam
Discussion about this post