Dalam konteks bernegara, menjadi terang bahwa negara yang yang seharusnya menjadi pelindung bagi lingkungan dan masyarakat, justru berperan sebagai kaki tangan korporasi dalam mengeksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang. Dengan dalih pembangunan ekonomi, pemerintah mengabaikan prinsip keberlanjutan dan malah memberikan legitimasi terhadap praktik yang merusak ekosistem Raja Ampat.
Pulau Gag, yang merupakan bagian dari kawasan konservasi laut dunia, kini berubah menjadi korban kerakusan industri ekstraktif yang didukung oleh kebijakan yang tidak transparan dan minim akuntabilitas. Tindakan pemerintah yang secara sistematis menyangkal kerusakan lingkungan dan menutup-nutupi fakta, lebih dari cukup untuk menunjukkan topeng asli negara sebagai pelaku utama kejahatan ekologis dan hanya mewariskan utang ekologis bagi generasi mendatang.
Baca juga: Temuan Kementerian ESDM, Lima Perusahaan Punya Izin Tambang di Raja Ampat
Lima tantangan Jatam
Ini terus berjalan di atas pemerintahan yang terus-menerus abai terhadap supremasi hukum. Padahal hukum merupakan panglima tertinggi negara Indonesia yang kerap mendaku diri sebagai negara hukum. Sikap abai ini tercermin dalam lemahnya penegakan hukum di pulau-pulau kecil seperti Wawonii dan Sangihe.
Meskipun Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan empat putusan dan satu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tegas melarang aktivitas pertambangan di wilayah pulau kecil Indonesia dan telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde), eksekusi atas keputusan tersebut masih terbatas pada ranah administrasi perizinan. Namun penghentian total aktivitas di lapangan sebagaimana mandat utama putusan tersebut tak pernah dilakukan.
Ketidakpatuhan terhadap putusan MA dan MK semakin memperjelas bahwa negara bukan hanya abai, tetapi juga turut serta dalam membiarkan kejahatan ekologis terjadi. Pulau Sangihe, misalnya, telah menjadi simbol perlawanan masyarakat terhadap tambang illegal. Meskipun berbagai putusan hukum telah memenangkan warga, perusahaan tambang tetap beroperasi tanpa hambatan.
Baca juga: Dietriech G Bengen, Sound Horeg Membuat Penghuni Laut Stres hingga Tersesat
Hal yang sama terjadi di Wawonii. Ketika hukum hanya menjadi formalitas tanpa implementasi, negara kehilangan legitimasi sebagai pelindung rakyat dan dengan mudah berubah wujud menjadi penindas bagi rakyatnya sendiri.
“Kami tidak menginginkan pemerintah yang hanya melakukan klarifikasi dan berpidato di podium, melakukan penyegelan dan moratorium palsu,” tegas Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan Jatam, Muh Jamil.
Atas dasar itulah, Jatam menuntut pemerintah untuk:
Pertama, Mencabut semua regulasi yang melegalkan tambang di pulau kecil, termasuk Undang-Undang Mineral dan Batu bara dan aturan turunannya.
Baca juga: Cek Singkat Kementerian ESDM Klaim Tambang Nikel di Raja Ampat Tak Bermasalah
Kedua, Menyusun perlindungan hukum yang tegas dan tanpa celah untuk pulau-pulau kecil.
Ketiga, Menghapus semua rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang mengakomodasi kepentingan tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil.
Keempat, Menghentikan, mengevaluasi, mengaudit dan serta mencabut seluruh izin tambang di pulau-pulau kecil yang sudah terlanjur dieksploitasi.
Kelima, Berhenti menerbitkan izin tambang baru di pulau kecil Indonesia.
Baca juga: Tiga Langkah Diklaim Menteri Pariwisata Bisa Menjaga Kelestarian Raja Ampat
Pemerintah klaim laut di Pulau Gag masih jernih
Sementara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia kembali membantah informasi visual berupa video dampak penambangan di Raja Ampat yang beredar di media sosial. Ia menilai informasi itu tidak menggambarkan kondisi sebenarnya.
“Jadi mohon kepada saudara-saudara saya sebangsa setanah air, dalam menyikapi berbagai informasi, tolong kita juga harus hati-hati,” ujar Bahlil dalam keterangannya di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa, 10 Juni 2025.
Ia menampilkan dokumentasi visual terkini dari lokasi tambang PT GN yang memperlihatkan laut yang masih jernih serta kawasan tambang yang telah direklamasi sebagian. Menurut Bahlil, informasi visual yang simpang siur berisiko menciptakan persepsi yang keliru terhadap kebijakan pemerintah.
“Jadi sangatlah mohon maaf, tidak objektif, kalau ada gambar lain yang kurang pas,” imbuh dia. [WLC02]
Sumber: Jatam, BPMI Setpres
Discussion about this post