Swasembada kedelai
Sedangkan untuk solusi jangka panjang diperlukan konsistensi pemerintah dalam memuwujudkan swasembada, tidak setengah-setengah. Roadmap swasembada pangan Indonesia, termasuk kedelai, sudah ada tinggal dievaluasi dan diperbaiki.
“Selama ini melihat roadmap apabila ada masalah. Ketika masalah selesai dengan sendirinya (anti klimaks), pemerintah seolah lupa. Jika kedelai dibiarkan mengikuti mekanisme pasar, itu bisa terjadi. Namun untuk kedelai kan tidak demikian, masih diatur pemerintah karena bagian dari bahan pangan pokok yang harus diawasi,” papar Feryanto.
Untuk meningkatkan produksi kedelai, produksi kedelai lokal harus didorong dengan mengoptimalkan lahan-lahan yang tidak digunakan atau lahan marjinal yang jumlahnya sangat banyak. Dan perlu dukungan penggunaan bibit unggul dan mekanisasi pertanian agar produktivitasnya dapat ditingkatkan. Jaminan ketersediaan pupuk dan obat-obatan juga menjadi faktor penting agar target produktivitas bisa dicapai.
Baca Juga: Sejumlah Negara Mulai Berlakukan Transisi Endemi Covid-19, Indonesia Pilih Hati-hati
“Penggunaan lahan perlu dipetakan. Ini sangat bisa dilakukan dengan teknologi pencitraan (satelit) sehingga terpetakan daerah-daerah yang dapat ditanami kedelai,” jelas dia.
Selain itu, harus ada penguatan ke pasar dan rantai distribusi agar kedelai bisa langsung dimanfaatkan oleh pengrajin tahu tempe dan tidak melewati jalur distribusi yang panjang.
“Ini menjadi bentuk insentif harga yang diperoleh petani. Ketika kedelai impor harganya tinggi, lebih tinggi dari kedelai lokal, tentu jadi momentum untuk memperbaiki manajemen pangan nasional,” tandasnya.
Menurut Subejo diperlukan terobosan untuk menekan impor kedelai secara signifikan dan menjaga stabilitas harga. Diperlukan program strategis melalui penguatan inovasi produksi.
“Inovasi pemuliaan benih kedelai yang produktif, adaptif terhadap perubahan iklim dan memilki citra rasa baik sangat urgen dilakukan,” kata Subejo.
Baca Juga: Ini Cara Kasatgas Covid-19 Ingatkan Kembali Warga Disiplin Prokes
Salah satu inovasi yang dihasilkan UGM dan perlu dikembangkan adalah benih kedalai hitam Mallika. Mallika dinilai cukup prospektif karena memiliki produktivitas tinggi, adaptif terhadap kekurangan air dan sesuai untuk daratan rendah dan sedang.
Bisa juga melalui inovasi UGM yang lain terkait dengan peningkatan produktivitas kedelai yaitu mikoriza. Melalui mikoriza dapat meningkatkan eksplorasi perakaran sampai ratusan kali volumenya sehingga penyerapan air dan nutrisi menjadi lebih baik yang membuat tanaman kedelai menjadi lebih subur.
“Selama ini harga kedelai lokal kurang atraktif bagi petani sehingga budi daya kedelai tidak menjadi prioritas karena tingginya kompetisi dengan komoditas pertanian yang lebih menguntungkan. Alternatifnya lakukan budi daya kedelai dengan memanfaatkan lahan perhutanan sosial serta pengembangan komoditas subtitusi kedelai,” papar Subejo.
Dia mengusulkan inovasi pengembangan berbagai jenis kacang koro. Kacang yang telah diinisiasi sebagai subtitusi kacang kedelai, tetapi cita rasa dan kekhasan olahan tempe dan tahu berbahan kedelai dipandang berbeda dibandingkan olahan dari bahan substitusi.
“Isu perubahan taste dan pereferensi konsumen inipun juga menjadi hal yang tidak mudah,” ujarnya.
Baca Juga: Program Plate me Diet, Tiga Kali Makan, Tiga Kali Snack
Kondisi tersebut diamini Feryanto. Solusi pengganti kedelai sangat mungkin dilakukan dan upaya ini sudah dilakukan oleh kelompok atau komunitas masyarakat. Mereka memanfaatkan hasil potensi lokal yang berasal dari kacang-kacangan, selain kedelai. Seperti biji legum, kacang edamame, kacang tolo, kacang hijau, kacang kedelai hitam, kacang koro dan biji lamtoro yang potensinya belum dioptimalkan. Kacang-kacangan ini bisa didapat dengan mudah dan memiliki kandungan gizi dan protein yang lebih tinggi dari kedelai impor.
“Namun perajin tahu tempe enggan menggunakan biji-biji lokal ini karena proses produksi agak berbeda. Bau dan rasa yang timbul tidak biasa,” kata Feryanto.
Menurut dia, sebenarnya tergantung kebiasaan. Masyarakat harus di-edukasi bahwa tempe dan tahu dari non kedelai itu juga memiliki rasa dan kandungan gizi atau protein yang lebih bagus. Perlu juga memberikan insentif kepada pengrajin tahu tempe yang memanfaatkan biji non kedelai. Misalnya, bantuan modal untuk pengembangan usaha, bantuan mekanisasi atau mesin untuk pengolahan agar lebih higenis dan disenangi konsumen. [WLC02]
Discussion about this post