Pilihan sikap itu berlatar belakang Indonesia yang tengah menghadapi krisis ekologis yang kian parah akibat arah pembangunan nasional yang berorientasi pada investasi ekstraktif. Proyek food estate yang digadang sebagai solusi ketahanan pangan justru menimbulkan deforestasi ratusan ribu hektare hutan, merusak lahan gambut, dan merampas tanah adat di Papua dan Kalimantan. Hilirisasi nikel yang dipromosikan pemerintah juga memicu pencemaran, kerusakan pulau kecil, dan penghancuran ekosistem pesisir di Maluku Utara maupun Papua Barat.
Di sisi lain, kebijakan pro-investasi melalui UU Cipta Kerja dan UU Minerba memperlemah instrumen pengendalian pencemaran, sementara lemahnya penegakan hukum memberi ruang bagi korporasi untuk melakukan pembakaran hutan, tambang ilegal, serta perampasan wilayah kelola rakyat. Akibatnya, kualitas lingkungan menurun drastis, bencana ekologis meningkat, dan ribuan warga mengalami kriminalisasi saat mempertahankan ruang hidupnya.
Baca juga: Pemerintah dan DPR Rekomendasikan Pembentukan Badan Pelaksana Reforma Agraria
“Sejak proses pemilihan Dewan Nasional, kami telah menyadari bahwa tantangan ke depan jauh lebih besar. Jadi kami mengambil sikap bahwa proses pemilihan ini haruslah lebih dari sekadar kontestasi,” kata Dewan Nasional Walhi, Torry Kuswardono.
Melainkan juga mengedepankan nilai-nilai persaudaraan, keteladanan, kolektif dan kolaboratif. Para kandidat Dewan Nasional juga menyatakan bahwa prinsip kerja mereka nantinya adalah menjadi kawan kerja strategis untuk membangun gerakan soliditas guna melawan kekuatan ekonomi politik yang kapitalistik ekstraktif.
Dewan Nasional Walhi lainnya, Arie Rompas juga menyampaikan bahwa keadilan itu tidak datang sendiri, tetapi harus diperjuangkan. Walhi bersama rakyat akan memperjuangkannya.
“Keadilan ekologis harus didasarkan pada daulat rakyat, dan demokrasi yang substansi. Saling menguatkan, membangun soliditas dan solidaritas adalah kunci kerja kita nantinya,” kata Arie. [WLC02]
Sumber: Walhi







Discussion about this post