Wanaloka.com – Hutan menjadi salah satu aset yang tidak banyak dimiliki negara lain. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat hutan Indonesia meliputi daratan seluas 125,76 hektare atau setara dengan 62,97 persen dari total luas daratan Indonesia. Persoalannya, jumlah tersebut sudah mengalami penurunan sejak beberapa dekade terakhir, karena terjadi eksploitasi dan pembukaan lahan yang mengakibatkan berkurangnya kawasan hutan.
“Padahal sektor kehutanan menjadi bagian penting untuk memenuhi pengurangan gas emisi rumah kaca sebanyak -140 juta ton CO2 ekuivalen pada tahun 2030. Itu dilaksanakan melalui beberapa pendekatan yang terstruktur,” ucap Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Sigit Sunarta dalam kuliah umum bertajuk “Forestry Update Course: Kehutanan dan Lingkungan Hidup Indonesian dalam Perspektif Global/Internasional” yang digelar KLHK bersama Fakultas Kehutanan UGM dan perguruan tinggi seluruh Indonesia pada 4 Oktober 2023.
Ada perkembangan yang dinamis atas kebijakan, regulasi, praktik pengelolaan kehutanan terkini penting dipahami masyarakat luas, terlebih oleh para akademisi. Seperti keluarnya Surat Keputusan Menteri KLHK Nomor SK. 168/MENLHK/PKTL/PLA.1/2/2022 tentang Indonesia’s Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030. Implementasi SK itu diharapkan sesuai target Indonesia untuk menurunkan jumlah produksi emisi karbon dan mengupayakan solusi menghadapi perubahan iklim.
Baca Juga: Chandra Wahyu: Industri Kimia Kurangi Minyak Bumi, Ganti Bahan Baku Terbarukan
Hanya saja, permasalahan hutan di Indonesia memiliki dimensi rumit.
“Jelas tertulis dalam undang-undang kita, bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Apakah kalau kawasan tersebut dikuasai satu pihak, apakah itu bisa memakmurkan rakyat? Juga ditulis aspek keberlanjutan dan wawasan lingkungan. Ini yang tidak banyak ditemukan di konstitusi negara lain,” tutur Menteri KLHK, Prof. Siti Nurbaya Bakar.
Cakupan masalah kehutanan juga tidak bisa diselesaikan dengan satu solusi. Bentang alam di Indonesia pada dasarnya berbasis hutan. Jika ada unsur penggunaan atau pemanfaatan, maka di sanalah harus ada unsur tanggung jawab yang berkelanjutan.
Baca Juga: Bahan Bakar Nabati Dikembangkan untuk Kurangi Impor Bensin
“Saat ini, kita kuat terkait carrying capacity atau daya dukung atau daya tampung lahan untuk membangun. Kalau ada persoalan, kita cek persoalannya yang terganggu itu apa. Apakah fungsi regulasinya, pembawa (carrier), produksi, dan informasi. Jadi kita mesti lihat, solusi dari yang terganggu itu apa. Dulu, kita melihat hutan hanya jadi lahan yang dimanfaatkan komoditasnya saja, dihitung luasnya berapa, lalu diperkirakan harga komoditasnya berapa. Kalau sekarang tidak, konteks hutan ini urusannya banyak dengan sektor lain,” papar Siti.
Hutan merupakan penyumbang 30 persen oksigen di muka bumi. Jika luas hutan menurun akibat deforestasi, tutupan hutan menipis, maka serapan CO2 dan produksi oksigen akan terhambat. Sedangkan kawasan industri juga tidak berhenti memproduksi CO2 yang meningkatkan emisi karbon.
Apabila dibiarkan, kondisi itu akan menyebabkan celah atmosfer dan berpotensi mengundang ancaman kebencanaan yang lebih besar ke depan. Perlu ada kerja sama dengan berbagai sektor untuk meningkatkan kepedulian demi keberlangsungan hutan.
Baca Juga: Peta Jalan Dekarbonisasi Jadi Acuan Pariwisata Indonesia Ramah Lingkungan
Discussion about this post