Wanaloka.com – Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Dr. Krisdyatmiko mengatakan kebijakan pembagian rice cooker tidak tepat karena guncangan dan kerentanan sosial saat ini adalah kemarau panjang dan rawan pangan. Bukan rawan alat untuk memasak pangan. Jika ditelisik lebih lanjut, argumen yang digunakan pemerintah untuk kebijakan pembagian rice cooker adalah bansos, sehingga kurang tepat. Lebih tepat menjadi upaya untuk substitusi energi karena ternyata saat ini sedang kelebihan pasokan listrik PLN. Masyarakat didorong untuk menggunakan listrik yang berlebih tersebut.
“Penggunaan rice cooker ditujukan kepada masyarakat miskin yang diharapkan mampu menggantikan penggunaan tabung gas melon 3 kilogram,” kata Krisdyatmiko.
Jika pemerintah berdalih substitusi itu berawal dari gagasan untuk memanfaatkan energi yang lebih bersih, maka perlu ditelusuri sumbernya. Gas yang berasal dari minyak bumi dianggap tidak terlalu bersih dibandingkan dengan listrik. Namun mengacu pada data ESDM tahun 2022, 67 persen listrik berasal dari batu bara dan 16 persen berasal dari gas. Artinya, sebenarnya sama-sama bukan energi terbarukan, baik antara listrik saat ini yang dihasilkan dari Indonesia dan gas itu sendiri.
Baca Juga: Kilang Hidrogen Hijau Pertama di Indonesia Resmi Beroperasi
“Jadi perlu dipertimbangkan jika hendak melakukan substitusi energi antara gas minyak bumi dengan listrik. Sebab sepanjang sumber listrik masih tergantung batu bara, dibandingkan dengan gas itu sebenarnya sama saja,” kata Krisdyatmiko.
Mengacu pada Permen ESDM Nomor 11 tahun 2023 tentang Penyediaan Alat Memasak Berbasis Listrik, kebijakan tersebut ditujukan kepada keluarga yang menggunakan listrik prioritas 450-900 watt. Apabila dilakukan pengecekan pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) masih menjadi kendala terkait dengan akurasi siapa calon penerimanya.
Kondisi ini bisa berkaca pada beberapa waktu lalu ketika ada keributan karena masih ada aparatur sipil negara (ASN) yang ternyata menerima bansos dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT). Tentunya kejadian tersebut merupakan dampak dari kurangnya akurasi data, sehingga perlu diperbaiki agar ke depan tidak menimbulkan problematika yang sama sehingga menimbulkan kecemburuan sosial.
Baca Juga: Konflik Sawit di Seruyan, DPR Minta Pemerintah Pusat Turun Tangan
Krisdyatmiko mengungkapkan kebiasaan masyarakat pedesaan memasak menggunakan dahan dan ranting sudah relatif kecil. Kegiatan tersebut biasanya dilakukan di desa yang berlokasi dekat hutan dengan memanfaatkan dahan ranting yang sudah kering.
Artinya, apabila karakter rumah tangga seperti itu diminta untuk mengganti memasak dengan rice cooker akan menimbulkan pemborosan energi. Sebab awalnya menggunakan SDA yang tidak merusak karena memanfaatkan sisa-sisa dahan dan ranting kering beralih menggunakan rice cooker sehingga akan bertambah pengeluaran hariannya untuk biaya listrik.
Discussion about this post