Wanaloka.com – Emisi gas rumah kaca yang terus meningkat telah berdampak pada peningkatan laju kenaikan suhu udara. Akibatnya, proses pemanasan global terus berlanjut dan berdampak pada fenomena perubahan iklim yang dapat memicu krisis air, krisis pangan, bahkan krisis energi, serta meningkatnya frekuensi, intensitas dan durasi kejadian bencana hidrometeorologi.
“Jadi, krisis air menjadi ancaman serius sekaligus nyata, sehingga harus menjadi perhatian seluruh negara,” tegas Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati dalam acara 2nd Stakeholders Consultation Meeting, the 10th World Water Forum yang diselenggarakan di Bali pada 12 Oktober 2023.
Dwikorita menambahkan, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) pada tahun 2022 lalu melaporkan bahwa planet Bumi jauh lebih hangat 1,15°C kurang lebih 0,13°C dibandingkan rata-rata suhu udara permukaan pada masa pra-industri (1850-1900). Saat ini, dalam penilaian awal (September 2023), menunjukkan tahun 2023 akan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah.
Baca Juga: Krisdyatmiko: Kebijakan Bagi-bagi Rice Cooker Tidak Tepat dan Boros Energi
Dampak dari variabilitas dan perubahan iklim sering kali dirasakan melalui air. Dinamika siklus air dan interaksinya dengan manusia menghasilkan pola ketersediaan sumber daya air yang bervariasi secara spasial dan temporal. Selain itu, dampak ekstrem terkait air sangat memengaruhi kehidupan, perkembangan, dan keberlanjutan ekosistem, serta masyarakat dan individu.
Selain perubahan iklim, tantangan lain yang dihadapi dalam pemenuhan kebutuhan air adalah ekstraksi air tanah yang menyebabkan penurunan muka air tanah. Akhirnya berdampak pada penurunan muka tanah. Selain itu, musim kemarau yang berkepanjangan, tidak meratanya aksesibilitas serta distribusi air bersih dan infrastruktur untuk pengelolaan sumber daya air, juga tantangan mewujudkan kesetaraan dan keadilan terhadap ketersediaan air.
“Jika terus dibiarkan, maka krisis air juga akan berujung pada krisis pangan, krisis energi, bahkan krisis sosial,” kata Dwikorita.
Baca Juga: Kilang Hidrogen Hijau Pertama di Indonesia Resmi Beroperasi
Semakin menipis sumber daya alam, termasuk air, juga disebabkan jumlah populasi penduduk dunia yang terus bertambah. Artinya, semua negara harus melakukan aksi mitigasi dan adaptasi secara sistematis dan kolaboratif, serta merumuskan kebijakan konservasi dan pengelolaan sumber daya air secara efisien berbasis ilmu pengetahuan.
“Ini penting segera dilakukan karena air adalah salah satu kebutuhan dasar hidup manusia,” imbuh Dwikorita.
Sementara tidak semua negara di dunia memiliki akses air bersih. Dwikorita yang juga anggota Dewan Eksekutif World Meteorological Organization (WMO) mendorong negara-negara di dunia untuk melakukan pemerataan sumber daya air yang berkeadilan.
Baca Juga: Konflik Sawit di Seruyan, DPR Minta Pemerintah Pusat Turun Tangan
Discussion about this post