Wanaloka.com – Di tengah malam yang tenang di bulan April 2024 silam, langit di atas Pulau Ruang, Sulawesi Utara tiba-tiba berubah muram. Gunung Ruang, salah satu gunung api aktif di Kepulauan Sangihe, meletus setelah lebih dari dua dekade dalam kondisi dorman.
Dua fase letusan dahsyat terjadi dalam rentang waktu dua minggu, yaitu pada 17 dan 30 April. Keduanya dikategorikan sebagai erupsi sub-Plinian, yakni jenis letusan yang setara dengan erupsi Gunung Kelud tahun 2014.
Namun di balik visual dramatis ini, para ahli gunung api justru menemukan sesuatu yang jauh lebih mencengangkan. Letusan ini bukan hanya soal asap dan debu, tetapi tentang magma yang tidak biasa karena begitu padat dengan kristal sehingga mengubah seluruh cara letusan itu bekerja.
Baca juga: TPA Benowo, Pengelolaan Sampah Menjadi Energi Listrik di Surabaya
Temuan ini diangkat dalam sebuah studi ilmiah oleh tim peneliti lintas institusi, termasuk dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dipublikasikan dalam Journal of Volcanology and Geothermal Research dan dirilis pada 14 April 2025.
Dosen Departemen Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi UGM, Indranova Suhendro berperan sebagai ketua tim peneliti mengungkapkan bahwa Gunung Ruang menyimpan sebuah keunikan yang bisa menjadi kunci untuk memahami perilaku letusan-letusan eksplosif di masa depan.
“Magma Gunung Ruang mengalami dekompresi yang sangat cepat, setara dengan erupsi ‘Pompeii’ Gunung Vesuvius 79 Masehi dan erupsi Gunung Pinatubo tahun 1991, tetapi kolom letusannya jauh lebih kecil. Sebab magmanya terlalu padat kristal, sehingga terlalu berat untuk terdorong ke atmosfer lebih jauh,” ujar Indranova, Rabu, 16 April 2025.
Baca juga: Mendesain Kota Bandung Berbasis Mitigasi Tanah Bergerak Akibat Sesar Lembang
Tim peneliti mencatat bahwa kolom abu dari dua kali letusan Gunung Ruang hanya menjulang setinggi 9 hingga 19 kilometer. Untuk ukuran letusan sub-Plinian, angka ini termasuk pendek. Padahal magma yang naik ke permukaan saat itu bergerak sangat cepat dengan laju dekompresinya mencapai 29 megapascal per detik.
Dalam banyak kasus, kecepatan seperti ini bisa menghasilkan letusan yang lebih besar bahkan mencapai intensitas Plinian dengan kolom abu yang menjulang tinggi dan dampak yang lebih luas. Kenyataannya, kolom letusan Gunung Ruang malah tertahan.
“Ini membingungkan awalnya. Sampai akhirnya, kami menemukan penyebabnya, yakni magma yang terlalu padat karena dipenuhi kristal membuat letusan seakan terhambat dari dalam,” jelas dia.
Baca juga: Empat Provinsi Dilanda Bencana Hidrometeorologi, Waspada Masa Pancaroba
Dengan menggunakan teknik analisis mikroskopik, geokimia, dan pemodelan tekanan, para peneliti menunjukkan bahwa magma Gunung Ruang mengandung kristal besar, seperti plagioklas dan amfibol dalam jumlah luar biasa banyak hingga mencapai 37-87 persen volume pumis. Fenomena ini menyebabkan berat jenis magma meningkat sehingga membatasi daya dorong letusan.
“Ibaratnya seperti balon udara yang dibebani terlalu banyak manusia atau overcapacity, kemampuannya untuk melayang ke udara jadi semakin rendah” tambah Indranova dengan analogi sederhana.
Discussion about this post