Wanaloka.com – TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Piyungan dibangun pada 1994 dan mulai dioperasionalkan pada 1996. Bertempat di Dusun Ngablak dan Watugender, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, TPA seluas 12,5 hektare itu menjadi tempat pemrosesan akhir sampah yang datang dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul.
Sejak awal, pengelolaan sampah dilakukan dengan sistem sanitary landfill, yaitu sistem pengelolaan atau pemusnahan sampah dengan cara membuang dan menumpuk sampah di lokasi cekung, memadatkannya, kemudian menimbunnya dengan tanah. Sistem ini dipilih karena mayoritas sampah yang dibuang masa itu adalah sampah organik.
“Harapannya, sampah mengalami dekomposisi sehingga terurai,” kata Dosen Departemen Geografi dan Ilmu Lingkungan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Mohammad Pramono Hadi.
Baca Juga: Peta Jalan Energi Baru Terbarukan ASEAN
Perkembangannya, gaya hidup masyarakat berubah. Mau tak mau memengaruhi jenis sampah yang dihasilkan. Jenis sampah-sampah anorganik mulai merajai hingga ke pembuangan akhir, terutama plastik.
Persoalannya, perubahan karakteristik sampah tidak diikuti dengan perubahan metode pengelolaan sampah di TPA Piyungan. Pengelola tetap mempertahankan metode sanitary landfill. Akibatnya, sampah plastik yang mayoritas dibuang di sana tidak mengalami dekomposisi atau penguraian sehingga eskalasi lima tahun sudah melebihi kapasitas. Jika ditumpuk, maka gunungan sampah ini akan menimbulkan bencana, seperti longsor.
Pelayanan Publik
Kondisi tumpukan sampah di TPA Piyungan yang semakin tinggi dan melebihi kapasitas membutuhkan pembenahan. Setidaknya butuh waktu dua bulan untuk menata ulang kawasan tersebut. Pemusatan pengelolaan akhir sampah pada satu lokasi supaya efisien ditambah dengan perubahan gaya hidup dari pedesaan menjadi perkotaan tentu memerlukan pihak ketiga untuk mengelolanya.
Baca Juga: Analisis BMKG Gempa 5,1 Magnitudo Laut Banda
“Jika sekarang TPA Piyungan ditutup dan pengelolaan sampah dikembalikan ke daerah, maka daerah pasti akan kelabakan,” kata Pramono.
Pihaknya tengah mendesain riset untuk meneliti pengujian kualitas air di sungai-sungai dalam dua bulan mendatang. Ia menduga, lokasi pembuangan sampah yang sudah tidak diperbolehkan akan muncul lagi. Jangan disalahkan jika kualitas lingkungan menurun di perkotaan. Sebab belum ada solusi pengelolaan sampah akhir.
“Supaya efektif, pengelolaan sampah harus jadi satu kesatuan. Tapi tidak dengan sanitary landfill, harus ada teknologi,” tegas Pramono.
Baca Juga: Sepekan Dibuka Sistem Booking Online TWA Marapi Diminati 166 Pendaki
Penutupan TPA Piyungan bukan pertama kali ini dilakukan. Melainkan merupakan kebijakan yang sudah dilakukan sebelumnya. Sebelumnya, penutupan TPA dilakukan oleh masyarakat sekitar yang protes terutama saat musim penghujan. Sebab banjir air lindi sehingga mereka menutup jalanan dan melarang truk pengangkut sampah masuk.
Sedangkan penutupan TPA saat ini dilakukan oleh pengelola sampah. Pramono memprediksi, penutupan TPA akan terus brulang apabila tidak ada solusi yang konkret untuk mengatasi permasalahan sampah tersebut.
Pramono mengingatkan, pengelolaan sampah adalah bagian dari pelayanan publik untuk mewujukan kebersihan dan kesehatan. Seharusnya merupakan tanggung jawab dari kebijakan pemerintah untuk menyelesaikannya. Namun pemerintah saja tak akan mampu tanpa melibatkan stakeholder. Perlu duduk bersama untuk mendiskusikan terkait penyelesaiannya.
Baca Juga: Korban Tertimbun Longsor Bojongsirna Cianjur Belum Berhasil Ditemukan
Jadi Bahan Bakar dan Berbayar
Salah satu dampak penutupan TPA Piyungan adalah penumpukan kantong-kantong sampah di berbagai titik jalan maupun di rumah-rumah penduduk. Tak terkecuali masyarakat Sleman yang merupakan penyumbang sampah terbanyak di TPA Piyungan. Kebijakan pengelolaan sampah mandiri digaungkan di sana. Termasuk menyiapkan tempat pembuangan sampah sementara (TPS) yang rencana semula di Kecamatan Cangkringan di Sleman utara. Lokasi tersebut merupakan area bekas penambangan pasir Gunung Merapi.
Discussion about this post