Wanaloka.com – Penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang memberi ruang penambangan pasir laut dengan dalih sedimentasi telah mendapat respons aksi penolakan dari puluhan nelayan dari Desa Suka Damai Kecamatan Rupat Utara. Nelayan yang mayoritas Suku Akit itu melakukan aksi bentang spanduk untuk menyuarakan tuntutan penyelamatan Pulau Rupat dari ancaman tambang pasir laut pada 12 Juni 2023 di sekitar Beting Aceh dan Pulau Babi, Rupat Utara.
Beberapa tulisan yang dibentangkan para nelayan di antaranya: Selamatkan Pulau Rupat, Cabut IUP PT Logomas Utama (LMU), Cabut PP Nomor 26 Tahun 2023, Lindungi Wilayah Tangkap Nelayan, Laut Bukan Ruang Tambang, dan #SaveRupat.
Bukan tanpa alasan mereka menolak, karena penambangan pasir laut telah terjadi di perairan Rupat Utara oleh PT MU. Kehadiran PT LMU sangat meresahkan nelayan. Andre, nelayan dari Dusun Suling menyatakan keberatan atas penambangan itu. Sebab aktivitas penyedotan pasir laut yang baru dilakukan beberapa bulan lalu saja telah membuat hasil tangkapan nelayan menurun.
Baca Juga: Bencana Longsor Kota Ambon, 121 Rumah Warga Rusak
“Apalagi kalau mereka terus beroperasi hingga beberapa tahun nanti. Sudah pasti ikan habis, pulau kami pun rusak dan tenggelam,” ujar Andre.
Kempang, salah satu nelayan dari Dusun Simpur pun menyampaikan alasan membentangkan spanduk penolakan tersebut.
“Kami sebagai nelayan tradisional sangat menolak kehadiran tambang pasir laut karena dampaknya yang merugikan nelayan dan masyarakat Rupat secara umum,” tutur Kempang.
Baca Juga: Ramai-ramai Legislator Mengkritisi PP 26 yang Mengatur Ekspor Pasir Laut
Nelayan Rupat pun menyerukan agar Gubernur Riau segera mengambil keputusan untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan itu.
Aksi bentang spanduk dilakukan nelayan di sekitar Beting Aceh yang berjarak sekitar dua kilometer dari Pulau Rupat utara. Di sekitar Beting Aceh terdapat Beting Tinggi yang sempat hilang ketika Logomas Utama beraktivitas menyedot pasir laut.
Aksi tersebut bertujuan untuk mengingatkan pemerintah, bahwa baik Beting Aceh, Beting Tinggi, Beting Tiga, dan beting-beting lainnya adalah ekosistem penting yang harus dijaga dan tidak boleh ditambang. Apalagi langkah Presiden Joko Widodo yang malah menanadatangani PP 26 itu pada 15 Maret 2023 lalu.
Baca Juga: KKP Berdalih Ekspor Pasir Laut Cegah Kerusakan Terumbu Karang
Pakar llmu Kelautan dan Perikanan sekaligus pakar Manajemen Lingkungan Hidup Universitas Riau, Prof. Adnan Kasry dalam sebuah diskusi bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau menjelaskan bahwa sedimentasi berasal dari hasil erosi di Daerah Aliran Sungai (DAS) berupa tanah, lumpur, pasir dan mineral serta berbagai unsur kimia yang dibawa oleh aliran sungai ke muara (estuaria). Material reklamasi tersebut dapat juga berasal dari pelapukan batuan di kawasan pantai dan dasar laut.
Di kawasan estuaria yang kondisi geografisnya relatif datar, sebagian besar hasil erosi tersebut akan mengendap di kawasan estuaria membentuk timbunan lumpur dan pasir (beting). Beting ini lama kelamaan akan membesar dan terbentuklah pulau-pulau delta. Sedimentasi yang terbentuk di sekitar kawasan pantai akan menyebabkan terbentuknya daratan yang menyatu dengan daratan sekitarnya sehingga daratan pantai bertambah luas.
”Inilah yg disebut natural land reclamation, reklamasi tanpa campur tangan manusia dan tanpa biaya,” kata Adnan.
Baca Juga: Indonesia Produksi Kendaraan Listrik, Pembangkit Listrik Masih dari Batu Bara
Discussion about this post