Beberepa waktu lalu, Food and Agriculture Organization (FAO) telah memproyeksikan pada tahun tersebut krisis pangan akan menimpa hampir seluruh negara di dunia. Tidak main-main, kurang lebih 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80 persen sumber pangan dunia menjadi pihak yang paling rentan pada perubahan iklim.
“Cuaca ekstrem, iklim ekstrem, dan kejadian terkait air lainnya telah menyebabkan 11.778 kejadian bencana dalam kurun waktu 1970 hingga 2021,” ujar Dwikorita.
Ganggu Perekonomian
Laju perubahan iklim di dunia bisa menganggu seluruh sektor kehidupan, terutama perekonomian negara. Dalam catatan WMO, negara maju bisa mengalami 60 persen kerugian ekonomi terkait cuaca, tetapi umumnya hanya 0,1 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).
Baca Juga: Krisdyatmiko: Kebijakan Bagi-bagi Rice Cooker Tidak Tepat dan Boros Energi
Namun di negara berkembang akan terdampak 7 persen dari bencana menyebabkan kerugian 5-30 persen dari PDB. Paling parah, di negara kepulauan kecil, 20 persen dari bencana menyebabkan kerugian hingga 5 persen dari PDB dan beberapa kasus bisa melebihi 100 persen.
Data tersebut menunjukkan ketidakberdayaan negara berkembang dan negara kecil kepulauan dalam menghadapi perubahan iklim, krisis air, dan pangan. World Water Forum (WWF) ke-10 akan dilaksanakan di Indonesia pada Mei 2024 mendatang. Rencananya untuk membantu meningkatkan kesetaraan dengan membantu negara miskin tertinggal agar dapat meningkatkan kapasitas dan tangguh menyikapi perubahan iklim.
Kolaborasi dan Dukungan Politik
Persoalan krisis air dan perubahan iklim memiliki kompleksitas tinggi. Perlu gotong royong untuk menyelesaikan persoalan ini. BMKG memiliki fungsi dan peran untuk memberikan informasi sedini mungkin agar pihak terkait merancang strategi bagaimana melakukan mitigasi.
Baca Juga: Kilang Hidrogen Hijau Pertama di Indonesia Resmi Beroperasi
BMKG berharap, data dan informasi yang diberikan tidak hanya berdampak menjadi kebijakan. Namun juga pemahaman bagi seluruh masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Perkembangan informasi diharapkan menjadi pengetahuan dan menjadi kesadaran dalam bertindak dan akhirnya menjadi local wisdom di masyarakat.
“Ini persoalan kemanusian, keselamatan bumi, bahkan peradaban. Ini menyangkut pelbagai negara, kelompok masyarakat hingga berbagai suku jadi harus kolaborasi,” ujar Dwikorita.
WWF akan menghadirkan tiga elemen kunci dalam menghadapi persoalan air dan perubahan iklim. Pertama, pada proses tematik akan melibatkan para praktisi sains dan ilmuwan untuk menghasilkan rekomendasi yang harus dilakukan seluruh pihak.
Baca Juga: Konflik Sawit di Seruyan, DPR Minta Pemerintah Pusat Turun Tangan
Kedua, dari hasil WWF diharapkan ada dukungan politik yang kuat untuk menerjemahkannya dalam sebuah kebijakan hingga proses eksekusi.
“Jangan sampai hasil WWF hanya berupa tumpukan kertas, tetapi tidak ada tindak lanjut pemerintah atau pemangku kepentingan,” kata Dwikorita.
Ketiga, data menjadi dasar analisis untuk ditafsirkan para politisi dalam membuat kebijakan jitu. Kolaborasi tidak hanya sekadar level sains, political, dan regional, melainkan mesin dan data.
Baca Juga: Rice Cooker Gratis Kurangi Impor LPG, DPR: Emak-emak Lebih Butuh Pangan Murah
Adanya WWF ke-10, Dwikorita melihatnya peluang bagi Pemerintah Indonesia untuk menunjukkan leadership. Yakni bagaimana Indonesia berjuang untuk menyelamatkan rakyatnya dan juga bersama negara lain menyelamatkan dunia dengan berkolaborasi. Indonesia sendiri memiliki kekuatan tidak hanya pada sains, tapi juga pada inovasi teknologi dengan kearifan lokal.
Dengan pengalaman, Indonesia dapat ambil bagian menjadi jembatan antara negara maju dan berkembang. Bahkan dengan negara miskin dalam melakukan transfer pengetahuan mengenai sains dan teknologi yang saat ini masih ada ruang kosong. Artinya, transfer ilmu bisa memudahkan negara kecil yang tidak paham menjadi lebih paham.
“Yang kami sodorkan blended high technology dan local wisdom. Ini formula paling pas untuk mayoritas penduduk dunia. Semakin kompleks persoalan iklim, air, pangan membutuhkan teknologi yang kian maju dengan satelit, radar, dan artificial intelligence,” papar Dwikorita. [WLC02]
Discussion about this post