Kita sering mendengar bahwa alam punya caranya sendiri untuk melindungi manusia. Benteng pasir di selatan Jawa adalah salah satu buktinya. Ia terbentuk perlahan selama ribuan tahun, tetapi bisa lenyap hanya dalam hitungan dekade jika tidak dijaga. Menyelamatkan benteng alam tsunami bukan hanya tentang menjaga lingkungan, tapi tentang memastikan masa depan anak cucu tetap terjaga.
Potensi megathrust dengan GNSS
Visiting Researcher di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Prof. Kosuke Heki dari Hokkaido University memberikan insight mengenai “Nankai Trough Earthquake in Southwest Japan: What can we learn to mitigate disasters in Indonesia?”. Bahwa gempa besar di zona Nankai Trough di Jepang bukan sekadar ancaman lokal, namun juga sumber pembelajaran global bagi negara rawan megathrust seperti Indonesia.
“Kami memahami gempa bumi berkekuatan 8 terjadi dalam interval yang jauh lebih pendek sekitar 50 hingga 100 tahun. Jadi, ini adalah pandangan klasik kami sebelum gempa bumi,” jelas Heki dalam diskusi bertopik Geohazard Webinar #5 dengan tema “Understanding Geohazard With GNSS” secara daring yang digelar Pusat Riset Kebencanaan BRIN, Selasa, 2 Desember 2025.
Baca juga: Berulang Kali Tapanuli Selatan Dihantam Banjir Bandang Gelondongan Kayu dari Hulu
Ia menjelaskan dasar mengenai siklus megathrust. Risiko gempa megathrust, pemahaman tentang pergerakan kerak bumi, tanda-tanda awal sebelum gempa besar, serta upaya mitigasi bencana menjadi perhatian serius komunitas ilmiah global. Meskipun waktu pastinya sulit diprediksi. Ia menekankan pentingnya pengamatan deformasi jangka panjang melalui Global Navigation Satellite System (GNSS) dan pengukuran dasar laut.
“Kemudian kita dapat melihat bahwa kopling antar-seismik yang saling mengunci terjadi hampir di sumbu palung. Jadi, di bagian batas besar yang sangat dangkal, terdapat regangan yang terakumulasi untuk gempa berikutnya,” tutur dia.
Slow slip event (SSE) atau preslip, meskipun gerakannya kecil, dapat menjadi indikator penting sebelum terjadinya gempa besar.
“Fenomena ini telah diamati berulang di Nankai Trough dan bagian lain Jepang. Salah satu peristiwa pergeseran lambat ini mungkin memicu gempa palung Nankai berikutnya,” kata dia.
Penjelasan ini sangat relevan bagi Indonesia yang memiliki zona subduksi aktif seperti Mentawai, Jawa, Bali, Lombok, hingga Maluku. Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan jaringan GNSS guna mendeteksi deformasi jangka panjang dan preslip sebelum gempa.
Baca juga: Hatma Suryatmojo, Banjir Bandang Sumatra Akibat Akumulasi Dosa Ekologis di Hulu DAS
“Saat ini saya sedang mengerjakan masalah ini di Indonesia,” ucap Heki
Dengan kombinasi data GNSS di darat dan teknologi geodesi dasar laut, Heki menekankan Indonesia dapat mulai memetakan akumulasi tegangan yang berpotensi memicu gempa besar di masa depan.
Associate Professor di Global Geophysics RG, Program Studi Teknik Metalurgi ITB, Endra Gunawan memaparkan hasil riset terbarunya mengenai seismogenic potential sesar Jakarta menggunakan metode GNSS slip-rate analysis.
Bahwa deformasi kerak di wilayah Jakarta dapat terukur secara periodik, sekaligus membuka peluang pemodelan bahaya gempa di wilayah perkotaan padat penduduk. Riset ini sekaligus memperkuat pesan Heki bahwa pemantauan berbasis deformasi merupakan fondasi mitigasi modern.
“Analisis kami berdasarkan pendekatan GP, menemukan patahan di bagian selatan Jakarta ini menghasilkan laju pergeseran sekitar tiga milimeter per tahun dengan kedalaman penguncian tujuh dan sudut kemiringan 63 ke selatan,” ujar Endra.
Baca juga: Anggota DPR Kritik Pernyataan Pejabat Publik Soal Banjir Sumatra Minim Empati
Sementara ahli GNSS CORS di Direktorat Sistem Referensi Geospasial Badan Informasi Geospasial (BIG), Muhammad Al Kautsar menekankan pentingnya integrasi data GNSS nasional untuk pemantauan geohazard. Jaringan CORS yang dikelola BIG digunakan untuk memantau pergerakan mikro dan deformasi harian yang berkaitan dengan potensi gempa.
“Dinamika pergerakan lempeng di Indonesia membawa implikasi serius. Akibat dari pergerakan tersebut, Indonesia akan banyak mengalami gempa bumi dan aktivitas gunung berapi,” kata Kautsar. [WLC02]
Sumber: BRIN







Discussion about this post