Lantaran salah satu manfaat tanaman bakau adalah dapat merefleksikan cahaya bulan sehingga memudahkan navigasi bagi penyu. Sementara penambahan jumlah pemukiman warga di pesisir pantai membuat penyu kebingungan untuk menemukan tempat menetaskan telur-telurnya.
Baca Juga: Pemerintah Genjot Produksi Nikel, Walhi Region Sulawesi: Perusakan Lingkungan akan Nyata
“Padahal penyu hanya akan menetas di tempatnya dulu menetaskan telur-telurnya,” imbuh Tania.
Konservasi pantai berkaitan erat dengan kelestarian penyu yang jumlahnya kian menipis. Penyu merupakan salah satu makhluk hidup purba yang hampir punah. Sementara penyu mulai berkembang biak pada usia 30-50 tahun dengan jarak 2-8 tahun.
Ketua Komunitas Reispira Deni Widiyanto juga punya kisah tentang penyu di sana. Dia mengisahkan perjuangan komunitasnya sejak 2010 yang berawal dari sering berkunjung ke pantai dan tertarik dengan penyu. Namun literasi tentang penyu yang dicarinya masih sangat terbatas.
“Kami bertemu dengan Pak Rujito yang lebih awal lagi peduli dengan konservasi pantai sejak 1998 sekaligus penerima Kalpataru,” tutur Deni.
Semangat Rujito lah yang membuat komunitasnya tak pernah menyerah untuk terus berdaya pada alam. Fokus kegiatan mereka adalah untuk menjaga kelestarian penyu dengan menanam mangrove di tepi pantai.
Baca Juga: Jokowi Cabut Izin Tambang, Jatam: Perusahaan Penyebab Kejahatan Lingkungan Tak Tersentuh
“Menanam mangrove tekniknya berbeda tiap pantai. Untuk tahu tepatnya, kami bisa bertanya langsung kepada penduduk sekitar,” jelas Deni.
Proses penanaman mangrove dilakukan dengan menggali pasir menggunakan cangkul dengan kedalaman sekitar 20 cm. Kemudian dua bibit mangrove dan satu buah bambu atau kayu kecil yang diikat bersama bibit. Bambu berfungsi sebagai penopang, semisal saat air pantai pasang. Mengingat ombak sepanjang pantai selatan dikenal tinggi dan besar.
“Berbeda dengan menanam mangrove di pantai utara. Satu bibit tiap lubang biasanya sudah tumbuh dengan baik,” jelas Deni. [WLC02]
Discussion about this post