Akar konflik agraria di wilayah adat tidak pernah diatasi secara tuntas. Tumpang tindih izin-izin konsesi, klaim sepihak kawasan hutan negara, dan beberapa konflik lainnya selalu menjadi sumber konflik yang menjerat masyarakat adat.
Baca juga: Delapan Kecamatan di Padang Pariaman Tergenang Luapan Banjir Empat Sungai
“Selama negara memaksakan model pembangunan yang menyingkirkan masyarakat adat, kekerasan akan terus terjadi,” tutur Eustobio.
Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan (SP), Armayanti Sanusi menyatakan terus berulangnya represifitas dan kekerasan dalam konflik agraria adalah bentuk manifestasi kekuasaan patriarki. Ketimpangan penguasaan sumber agraria dengan pendekatan kekerasan oleh negara, telah menciptakan lapisan persoalan struktural bagi rakyat, terutama perempuan. Kekerasan ini kemudian dipahami hak untuk menguasai pihak lain. Bukan untuk melindungi, namun justru alat untuk mempertahankan dominasi kekuasaannya.
Kondisi ini telah menempatkan perempuan sebagai korban yang menanggung beban berlapis, yakni kehilangan ruang hidup, kehilangan sumber ekonomi, serta ancaman langsung terhadap tubuh dan komunitasnya.
“Jadi negara harus menghentikan segala kekerasan dan segera penuhi hak-hak perempuan demi mewujudkan reforma agraria yang adil gender,” tegas Armayanti.
Baca juga: Musim Hujan Memicu Peningkatan Potensi Erupsi Gunung Semeru
Direktur Eksekutif Sawit Watch (SW), Achmad Surambo menyatakan dalam konteks perkebunan sawit, pihaknya mencatat setidaknya terdapat 1.126 komunitas masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan sawit besar hingga tahun 2024. Konflik itu melibatkan 385 perusahaan dan 131 grup dan tersebar di 22 provinsi.
Masyarakat sekitar perkebunan sawit menjadi kelompok paling rentan. Mereka harus menerima beban berlapis mulai dari kehilangan lahan, kehilangan sumber penghidupan serta menanggung beban moril dan materil saat konflik terjadi. Upaya intimidasi, kriminalisasi dan tindakan represif yang dilakukan aparat keamanan masyarakat memberikan tekanan psikologis yang besar.
“Untuk itu, kami mendorong agar proses penyelesaian konflik dilakukan secara adil dan setara. Dengan mengedepankan dialog-dialog untuk mencari solusi bersama atas konflik yang terjadi,” kata Surambo.
Melihat situasi agraria yang semakin darurat di berbagai wilayah, KNPA menyampaikan dua desakan. Pertama, Pansus PKA segera bekerja melakukan evaluasi terhadap penanganan konflik agraria dan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Kedua, Presiden segera menuntaskan ribuan konflik agraria yang terjadi di berbagai wilayah dengan segera membentuk BP-RAN.
Baca juga: Analisis DNA Bisa Mengidentifikasi Spesies Baru Rafflesia di Indonesia
Komisi XIII desak investigasi PT TPL
Kunjungan kerja Komisi XIII DPR ke Sumatra Utara pada tanggal 3–7 Oktober 2025 menghasilkan kesepakatan penting, yaitu dibentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Upaya pembentukan TGPF yang dipimpin Kementerian HAM dengan melibatkan Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjadi implementasi nyata strategi nasional bisnis dan HAM, yang menuntut korporasi menjalankan operasional secara akuntabel.
“Dugaan pelanggaran HAM yang melibatkan PT TPL harus diusut menyeluruh dan independen,” tegas Wakil Ketua Komisi XIII DPR Sugiat Santoso saat membuka Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi XIII DPR dengan Dirjen Pelayanan dan Kepatuhan HAM, Plt. Dirjen Instrumen dan Penguatan HAM Kemenham, dan PT TPL di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Rabu, 26 November 2025.
Ia pun mendesak pemerintah secara berkala memaparkan perkembangan investigasi secara lengkap, termasuk metode lintas sektor yang digunakan untuk memverifikasi pola pelanggaran yang disebut terjadi berulang.
Baca juga: Rekahan dan Sumber Air Baru Picu Longsor Susulan dan Banjir Bandang di Banjarnegara
“Kerja TGPF sangat luas dan menantang. Kami meminta tim dapat menyampaikan update temuan awal dan kendala yang dihadapi di lapangan,” kata dia.
Temuan tersebut akan menjadi dasar Komisi XIII DPR untuk menetapkan langkah kebijakan selanjutnya. Di sisi lain, ia menyoroti temuan terkait indikasi pola konflik berkepanjangan serta dugaan pelanggaran berat seperti kriminalisasi dan intimidasi terhadap masyarakat.
“Kami wajib mengambil sikap tegas terhadap temuan yang tak terbantahkan,” ujar dia.
Ia pun mendesak PT TPL bersikap transparan sekaligus menunjukkan komitmen substantif untuk penyelesaian konflik. Komisi XIII juga membuka ruang bagi perusahaan menyampaikan inisiatif perdamaian, namun menegaskan bahwa langkah tersebut bersifat sementara sampai rekomendasi resmi TGPF diterbitkan.
Baca juga: Warga Desak PT GKP Angkat Kaki dari Pulau Wawonii Berdasar Putusan MA
“Kami ingin keterbukaan PT TPL memberikan akses penuh terhadap dokumen dan lokasi yang relevan bagi TGPF. Kerja sama perusahaan adalah kunci pembuktian itikad baik,” kata Sugiat.
Komisi XIII akan memastikan proses investigasi berlangsung independen, terbuka, dan berkeadilan, baik untuk kepentingan investasi maupun perlindungan HAM masyarakat terdampak.
“Setiap aktivitas bisnis di Indonesia wajib berjalan seiring dengan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia,” tandas Politisi Fraksi Partai Gerindra itu.
Sebelumnya, PT TPL yang sebelumnya bernama PT Inti Indorayon Utama, telah beroperasi di kawasan sekitar Danau Toba sejak era 1980-an. Perusahaan ini berulang kali terlibat sengketa dengan masyarakat adat seperti Pandumaan–Sipithuta, Natumingka, dan komunitas lainnya terkait klaim hutan kemenyan dan batas-batas wilayah adat.
Sejak tahun 1990-an, perusahaan juga pernah dihentikan operasinya dan menjadi sorotan nasional akibat dugaan pencemaran lingkungan serta benturan dengan warga. Laporan Komnas HAM tahun 2016 juga mengonfirmasi adanya pelanggaran hak-hak masyarakat adat dalam konflik Pandumaan–Sipithuta. Kasus bentrokan di Natumingka pada 2021 serta laporan dugaan kriminalisasi warga terus menambah daftar panjang konflik agraria di sekitar konsesi perusahaan. [WLC02]
Sumber: DPR






Discussion about this post